Kayaknya sudah kelewat lama saya membiarkan laman pribadi saya ini terbengkalai. Satu dan lain hal banyak alasan yang bisa saya buat-buat sebagai alibi untuk menjelaskan kenapa saya lupa menulis disini. Namun, lebih baik kalau dilupakan saja dan yang terpenting saya sempat menulis kembali sebelum 2016 usai. Jadi, singkat cerita belakangan ini saya suka bengong, walaupun sebelumnya sudah menjadi hampir seperti hobi, kali ini kebengongan saya cukup berbeda. Saya merasa 2016 itu tahun yang cukup unik, fluktuasi hal baik dan (mungkin) tidak baiknya cukup seimbang. Keseimbangan itu sendiri yang kemudian membuat saya merasa hal ini menjadi cukup unik dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Di tahun sebelumnya, 2015, keunikannya adalah saat di mana saya baru saja lulus dan dengan sok gagah beraninya, saya mengambil keputusan karir yang saat ini saya jalani. Mungkin terdengar biasa saja kondisi ini dan pasti dialami oleh banyak orang disaat mereka baru saja menyelesaikan bangku kuliah. Namu, banyak pertimbangan yang saya lakukan saat mengambil keputusan ini dan seperti yang sudah saya tuliskan sebelumnya (kaitannya dengan Bakudapan). Banyak cara saya lakukan untuk melimpahkan kegundahan saya ini, yaitu dengan cerita dan berdiskusi dengan beberapa orang. Pada akhirnya, saya mencoba berani menjalankannya. Lalu datanglah 2016, waktu di mana untuk membuktikan kegelisahan dan kegundahan saya di 2015. Untungnya, seperti yang saya katakan, ada fluktuasi yang menarik terjadi di tahun ini, salah satunya kebaikan yang terjadi pada saya dan teman-teman di Bakudapan. Sedikit banyak kami semakin maju dan berkembang dengan cara kami sendiri (kayaknya gitu sih). Walaupun kecil, kami terus memiliki kegiatan dan mencoba konsisten dengan kegiatan yang kami lakukan. Mulai dari urusan dengan kebun-kebun sampai kesempatan yang kebetulan saya dan teman saya alami, untuk pergi ke Taipei. Pengalaman yang menarik dan pembelajaran yang unik banyak saya dapatkan selama dua bulan berada di Taipei. Tidak hanya berguna bagi saya sendiri sebagai individu, tetapi juga kaitannya dengan Bakudapan (lagi-lagi tetap kembali ke Bakudapan sih). Bisa dibilang 2016 hidup saya agaknya cukup fokus dengan Bakudapan. Mungkin agak terlalu banyak Bakudapan hadir dalam hari-hari saya selama 2016 ini. Di akhir tahun, masih ada sedikit kegelisahan akan apa yang akan terjadi di tahun depan, masih ada kegelisahan akan fluktuasi yang terjadi tahun ini apakah akan terulang di tahun depan? Seorang teman yang saya percaya dan paham cerita-cerita saya dia hanya berpesan, "kalau tahun lalu dan sebelumnya bisa survive, kenapa enggak untuk tahun depan?" Ada benarnya apa yang dia bilang ke saya. Saya sendiri sebenarnya masih penasaran, ingin bertanya lebih detil lagi apa yang akan terjadi di kehidupan saya di tahun depan. Tapi saya paham, kalau saya enggak suka dengan gambaran pasti akan masa depan, yang ada hanya membuat saya berharap terlalu banyak, dan kalau tidak terjadi pasti kecewa. Lebih baik tidak tahu detil, tetapi tetap menjalaninya. Gitu aja sih. Jadi ya, tulisan reflektif yang mendadak dibuat ini memang tidak tersusun dengan baik, tapi yang penting saya sudah menulis kembali.
Sudah ya, kalau begitu. Selamat Natal dan Tahun baru!
0 Comments
Halo Utik,
Gimana kabar disana? Aman? Tahun lalu kan, tepat 1000 hari Utik pulang, tapi aku juga nggak tau kenapa aku lupa buat tulisan. Nah, bulan ini tepat empat tahun Utik udah pulang, kayaknya banyak yang terjadi setelah Utik pulang. Kita emang rasanya nggak pernah ya, ngobrol untuk hal kecil-kecil selama aku tinggal di Jogja, paling juga soal aku yang pulangnya telat atau soal potong kuku. Sayang terakhir sebelum Utik pulang, kita cuma sempat ngobrol sebentar soal pengalaman aku penelitian ke Pemalang dan aku pulang bawa sapu, yang buat Utik itu sapu paling bagus. Tapi sayangnya habis itu aku pergi dan waktu aku kembali ke Jogja Utik malah udah siap-siap pulang. Yah, tapi yasudah, udah asik kan disana? Setelah Utik pulang, di rumah dipasang televisi berbayar. Jeleknya adalah aku jadi nggak kuat nonton semua film yang ceritanya tentang nenek-nenek dan kakek-kakek. Bisa bercucuran air mata aku. Asal Utik tau, aku pernah habis nonton film Korea ya, judulnya "Late Blossom", habis itu aku nangis jongkok di kursi favorit Utik buat tidur. Sampe akhirnya aku telepon Ibu. Kalau Utik ikut nonton pasti Utik juga sedih. Pelajaran berikutnya aku akan hati-hati Tik, untuk nonton film. Oya, kabar terbaru setelah empat tahun itu kayaknya terlalu banyak deh. Kalau kabar soal Indonesia kayaknya terlalu ribet deh, Tik, dari agama, seksualitas, internet (yang Utik belum pernah coba sih), semua dijadikan permasalahan. Coba semua orang kayak Utik, santai, semua orang dianggap sama. Aku sih, masih inget salah satu pesan Utik, "kamu nggak punya agama nggak apa-apa, yang penting hidup baik sama orang lain". Eh, tapi Utik juga bilang deng, kalau jangan ganti agama hahaha. Dari semua kabar, salah satunya yang penting adalah kaset yang ada lagu 'Gelas-gelas Kaca' punya Utik masih lancar dan utuh, Mbak Karti masih suka dengerin kadang-kadang. Oh, soal Jogja, Tik. Penghuni Ngadiwinatan masih komplit, Mbak Karti semakin sehat dan sekarang rutin ikut senam tiap hari Minggu. Oya lagi Tik, kemarin bunga favorit Utik, Wijayakusuma mekar! Mbak Karti senang banget, sampai-sampai Mbak Karti ingetin aku untuk foto bunganya. Asik sih Tik, gede banget bunganya. Balik lagi soal kabar, kalo aku sama kakak baik aja, masih sering bangun siang dan kamarnya berantakan. Dulu, Utik nggak pernah ya marahin soal kamar kita, sekarang sih ada..... Tapi dulu Utik sering sih, masuk kamar kita terus dirapiin, maaf ya Tik, tapi makasih juga sih. Aku dan kakak juga sekarang lagi memulai usaha untuk sekolah lagi, semoga ya Tik, aku bisa ngunjungin Alicia Keys (kalau Utik tau dia sih), doain aja lancar. Kondisi setelah empat tahun nggak betul-betul bahagia sih Tik, tapi seenggaknya semua berjalan dengan baik apapun kondisinya. Jadi jangan khawatir, semua terkendali! Berarti disana asik kan, Tik? Teman-teman Utik beberapa sudah pulang dan aku juga nggak lupa kalau disana ada Pak Ino, pasti seru sih ada Pak Ino. Salam untuk Pak Ino ya, Januari kemarin dia ulang tahun, bilang tukang es krim favorit Utik dan Pak Ino masih sering lewat, yang penting lagi rasa es krim favorit kalian belum ditarik dari pasaran! Kalau Utik masih ada kayaknya Utik bakal suka deh es krim komik, mungkin disana ada, kalau ada coba deh. Kira-kira segitu dulu Tik, kabar terbaru dari aku. Kabar dari yang (kayaknya) penting, sampai nggak penting. Senang-senang ya disana! Dadah! Tepat tanggal 2 Januari tahun lalu, saya berhasil memutuskan hubungan saya dengan universitas alias lulus. Tepat kemarin, kita telah berganti tahun menjadi 2016. Pergantian tahun saya habiskan bersama teman-teman saya, hanya duduk, ngobrol, dan makan. Saat pergantian tahun resmi terjadi kemudian saya ingat satu peristiwa saat saya masih kecil, saya juga ceritakan ini kepada kakak saya, berikut ceritanya: "Sekitar tahun 1998, seorang anak kecil yang masih berada di bangku awal sekolah dasar membuat catatan di buku tulisnya. Ia selalu menuliskan tanggal, hari, dan tahun di pojok kanan atas buku tulisnya. Saat itu dia menuliskan tahun 2020 di pojok kanan atas buku tulisnya dan seketika dia menertawakannya, lalu berkata pada kakak perempuannya bahwa tidak mungkin ada tahun 2020, karena tahun 2020 itu angka yang sangat besar dan terkesan sangat jauh di masa depan" Itu adalah memori yang muncul di kepala saya saat melihat perubahan tahun terjadi. Menurut kakak saya, baginya saat dulu saya menertawakan keberadaan tahun 2020, baginya saya hanyalah anak kecil yang naif atau mungkin bodoh (naif dan bodoh perbedaannya sangatlah tipis, seperti pembalut modern). Demikian halnya dengan posisi saya sekarang mengenang peristiwa yang terjadi saat saya masih kecil, betapa bodoh atau naifnya saya saat masih kecil. Saya akui, saya ingat perasaan membayangkan angka 2020 di kondisi saat itu tahun 1998. Mungkin saya yang memang tidak punya kemampuan yang baik sejak masih kecil jadi tidak bisa menghitung dalam dua tahun, 1998 akan berubah menjadi 2000.
1 Januari 2016 kemarin, membuat saya sadar kenaifan saya masih kecil akan 2020 hanyalah berjarak 4 tahun dari sekarang. Akhirnya saya akan menginjak tahun 2020 yang hanya ada di angan-angan anak kecil tahun 1998. Masa depan sendiri membuat beberapa orang takut, karena siapa yang tahu akan masa depan? Kecuali bagi mereka yang mempunyai indera ke-enam, hal ini akan berbeda. Bagi saya yang orang biasa, masa depan tentu membuat perut sedikit melilit. Kemudian muncul pertanyaan, apa yang saya lakukan di tahun lalu akan membawa hasil yang baik di masa depan? Jawaban untuk pertanyaan terakhir, jika itu saya tanyakan ke kakak saya, dia mungkin akan menjawab "mungkin" atau "belum tentu". Memang itu jawaban yang benar, kita tidak bisa berharap apa yang kita lakukan sebelumnya akan membuahkan keberhasilan di masa depan, mungkin atau pasti kita menemukan kegagalan. Kadang rasa kecil hati muncul saat melihat di tahun lalu banyak teman-teman saya yang setelah lulus dapat pekerjaan, bisa jalan-jalan dengan gratis, atau menemukan keberhasilan-keberhasilan dalam kehidupannya. Namanya juga manusia, saya boleh lah merasa iri, tetapi kembali lagi setiap orang punya kehidupannya masing-masing. Apa yang saya kejar dan teman-teman saya kejar kan berbeda, jadi saya anggap iri hati saya sia-sia. 2015 saya anggap, saya berhasil dalam apa yang saya coba perjuangkan. Tapi perjalanan saya masih panjang untuk apa yang sedang saya perjuangkan dan usahakan sekarang, jadi rasa iri hati yang sia-sia akan orang lain pasti muncul. Namanya juga manusia kan. 2016 baru berjalan dua hari. Sebelumnya saya sempat penasaran apa yang akan terjadi dengan saya di tahun ini. Namun, semua jawaban yang saya temukan tetap saja menjadi rahasia, karena semua belum terjadi kan? Jadi, selamat tahun baru, selamat penasaran dengan nasib kalian tahun ini! Seperti layaknya tagar yang sering digunakan oleh banyak orang di Instagram, tulisan kali ini benar-benar seperti judul diatas, yaitu menceritakan pengalaman saya yang belum selesai dituliskan. Jadi, tepat satu tahun yang lalu di bulan ini saya cukup beruntung bisa "naik haji" ke negara pecinta Korea. Sebelumnya saya sudah sedikit banyak menuliskan tentang Busan, entah karena saya yang malas atau sok sibuk jadi lupa menuliskan perjalanan ke lokasi-lokasi berikutnya. Pada kelanjutan petualangan saya di Korea, di Gwangju akhirnya saya bertemu kakak saya, Dina, dan kami memulai perjalanan di negeri kimchi ini. #GWANGJU Perjalanan berikutnya setelah Busan adalah Gwangju! Perjalanan menuju Gwangju diawali dengan drama saya telat bangun dan dihadapkan kenyataan bahwa terminal bis cukup jauh dari tempat saya menginap, jadilah saya saat di terminal bis berlari-lari membawa koper yang terjatuh-jatuh. Namun, akhirnya saya berhasil mengejar bis menuju Gwangju. Selama perjalanan saya disajikan dengan pemandangan pergantian musim, dari musim gugur ke musim dingin, jadi saya menikmati pemandangan pohon-pohon dengan daun berwarna oranye jatuh berguguran. Pemandangan yang cukup indah selama 3 jam menemani sampai ke Gwangju. Sesampainya di Gwangju saya keluar terminal dan mencari taksi untuk menuju Pedro's House. Oya, Pedro's House itu adalah guest house yang akan saya tempati selama tiga hari dua malam. Saat menemukan taksi, bapak taksinya sangat baik dan ramah, saking ramahnya dia mengajak saya ngobrol sepanjang jalan dengan bersikeras saya adalah orang yang berasal dari Tiongkok, walaupun saya sudah bilang saya dari Indonesia. Tapi yasudahlah, yang terpenting adalah si bapak berhasil membawa saya ke Pedro's House dengan selamat. Seperti yang terlihat Pedro's House terletak tepat di perumahan, jadi pemandangan yang baru bagi saya, karena sebelumnya penginapan di Busan tepat berada di lokasi wisata. Di Pedro's House saya tinggal di lantai dua, sebab di lantai pertama adalah tempat tinggal Pedro. Ah, Pedro itu adalah orang Korea, bisa dilihat di foto, tetapi dia mempunyai nama lain dalam Bahasa Inggris, hal ini umum dilakukan orang Korea, ungkap Pedro. Pedro's House sangat berkesan bagi saya, ini pengalaman pertama saya menginap di tempat yang tidak individualis seperti hotel. Akibatnya? Saya menjadi mengenal beberapa orang yang tinggal di Gwangju, karena pada malam saat saya sampai, mereka mengadakan acara makan-makan untuk meresmikan Pedro's House. Jadilah saya bergabung dengan acara mereka. Mendapatkan makanan gratis adalah keuntungan utama, jadi saya tidak perlu mengeluarkan uang untuk makan malam. Walaupun sebagian besar dari mereka tidak bisa berbahasa Inggris, mereka tetap berusaha berkomunikasi dengan saya dan beberapa tamu lainnya disana. Usaha itu berakhir dengan saya berteman di Facebook. Bagi yang ingin menetap di Gwangju saya akan sangat menyarankan untuk menetap di Pedro's House. Hari berikutnya saya akhirnya dipertemukan dengan kakak saya Dina, setelah empat hari berkelana sendirian. Hari itu Dina sampai dengan seorang temannya, seorang dosen di universitas di Gwangju. Keberuntungan berikutnya datang kepada saya, yaitu makan gratis bersama orang lokal lainnya ke restoran lokal! Restoran ini tidak terlalu besar dan berlokasi bukan di daerah yang ramai, jadilah saya dan Dina orang asing satu-satunya di dalam restoran itu. Makanan yang disajikan sangatlah khas Korea, makanan pendamping untuk dimakan dengan nasi (banchan) dan menu utamanya adalah bulgogi. Sepertinya pemilik restoran ini sangat senang dengan kehadiran saya dan Dina, terutama dengan wajah Dina yang "eksotis" di Korea dibandingkan dengan saya yang pasaran, jadi kami diberikan makanan tambahan. Setelah makan saya kami kemudian diturunkan di pusat kota Gwangju oleh teman Dina. Akhirnya kami berjalan keliling pusat kota dan berhenti di satu tempat minum kopi "Paul Frank". Seperti biasa saya hanya memesan americano dan menariknya mereka menyajikan kopi dengan buah. Setelah minum kopi dan makan buah kami melanjutkan jalan-jalan di sekitar pusat kota Gwangju, yaitu ACC atau Asian Culture Complex. Kalau dilihat foto diatas itu adalah gedung-gedung yang dipagari. Jadi dahulu di lokasi itu sempat ada peristiwa yang terkenal pada Mei 18, terjadi demo besar-besaran (silahkan lihat di wikipedia untuk detilnya). Di lokasi itu di bagian bawahnya akan dibangun sebuah pusat kebudayaan, yang diharapkan akan menjadi pusat penghubung dengan negara-negara lain. Tujuan berikutnya kami berjalan kaki ke area perbelanjaan Gwangju, keberuntungan berikutnya datang, yaitu Black Friday! Artinya yang lebih jelas adalah DISKON! Jadilah kami #thesisterinkorea kalap melihat masker yang diskon besar besaran, karena kalau beli di Indonesia kita bisa dapat empat di Korea dengan harga yang sama. Akhirnya kami berakhir memborong banyak masker untuk perawatan kulit yang jauh dari indah ini. Setelah kalap dengan diskon di malam itu dan berjalan-jalan di pusat perbelanjaan Gwangju, akhirnya kami pulang. #SEOUL
Akhirnya saya tiba di kota tujuan utama para turis. Perjalanan kereta tidak begitu lama, sekitar 3 jam untuk sampai ke Seoul dari Gwangju. Selama di kereta sebenarnya mereka punya gerbong khusus menjual makanan, tapi entah kenapa saya dan Dina tidak pergi kesana, mungkin kami berpikir akan makan setelah sampai ke hostel nantinya. Saat sampai di Seoul kami kemudian menggunakan kereta bawah tanah untuk menuju hostel kami yang berada di Myeongdong. Hostel kami ini bernama Crib49. Secara keseluruhan saya senang dengan hostel ini karena mudah di akses dan dekat dengan pusat wisata. Namun, satu saran saya kalau menuju ke hostel ini menggunakan kereta bawah tanah, jangan bawa koper besar. Jangan. Kalau dilihat di gambar yang saya berikan, ada seperti tanjakan yang kelihatannya biasa saja, tapi saat membawa koper besar dan berat, tanjakan itu seperti kelok 44 di Sumatera Barat. Semua dikarenakan koper Dina yang besar dan berat, jadi kami sempat mengambil waktu untuk istirahat di tengah perjalanan menuju hostel. Bagi yang tertarik menginap di Crib49, baiknya naik taksi melalui Namsan, khusus bagi mereka yang bawa koper besar. Hari itu kami tidak punya rencana pribadi, tetapi kami sudah mempunyai janji dengan teman Dina yang tinggal di Seoul. Dia mengajak kami untuk pergi ke Jimjilbang atau pemandian air panas serta sauna. Inilah pengalaman paling berkesan saya dimulai. Seoul memang jauh lebih dingin dari Gwangju dan Busan (menurut pengalaman saya), jadi saya membayangkan akan enak kalau mandi air panas dan sauna. Siapa sangka ternyata mandi air panas artinya mandi massal. Massal. Artinya dengan banyak orang tanpa baju, mandi dalam satu ruangan besar. Awalnya saya sangat canggung, terakhir kali mandi massal itu saat SD. Ya, maklum aja. Namun, mengutip perkataan teman kakak saya, "ini adalah tempat di mana kita bisa jadi diri kita tanpa peduli orang lain, karena tujuan kita sama, mandi!". Jadi saya mencoba untuk santai. Dan saya kecanduan untuk pergi ke Jimjilbang! Sumpah semua air panasnya membuat kita jadi rileks dan pada akhirnya saya lupa kalau saya berada di ruangan orang mandi massal. Wajib dicoba kalau ke Korea! Oya, Jimjilbang saya kunjungi ini menurut teman Dina adalah tempat favorit di Seoul, jadi silahkan dicoba. Setelah menikmati mandi dan sauna, karena hari itu saya berulang tahun, teman Dina mau mentraktir salah satu restoran sashimi yang menjadi favoritnya di Itaewon. Yak, Itaewon daerah yang terkenal dengan klub malamnya dan segala restoran dari berbagai negara, saya masuk ke dalam gang kecil yang jauh dari keramaian Itaewon. Malam itu saya dan yang lainnya menikmati sashimi ikan, gurita, dan sup ikan pedas. Tentu saja, saya tidak lepas diajari tata cara minum alkohol cara Korea dan diberikan teori cara membuat So-Maek (Soju-Maekju) yang benar, oya, Maekju itu adalah Bir. Walaupun tempatnya tidak terlalu luas dan terletak di gang kecil, tapi makanannya sangat enak! Cocok dengan cuaca dingin di malam itu. Kursus membuat So-Maek membuat kepala saya agak sedikit melayang dan rasanya ingin pulang. Tapi teman Dina bersikeras diminta mengunjungi rumah mereka masih di daerah Itaewon. Saat sampai di rumahnya, ternyata dia tergeletak di meja karena kepalanya lebih melayang dari saya. Akhirnya saya dan Dina memutuskan pulang. Temannya Dina yang masih sadar mencoba memesan taksi, tapi malam itu adalah hari Sabtu, jadi jalanan Itaewon macet dan banyak taksi yang menolak. Jadilah dia mengusulkan kami untuk jalan, yang katanya tidak terlalu jauh. Tapi kenyataannya, jam 02.30 pagi dan saya sampai ke hostel hampir jam 04.00, menyusuri pinggiran hutan Namsan dari Itaewon ke Myeongdong. Dari kepala yang melayang, ingin pipis, sampai bertemu iklan #thesister asli Korea, yaitu Jessica-Krystal, akhirnya kami punya kekuatan berjalan sampai hostel. Karena petualangan yang tak berujung di malam sebelumnya, kami bangun terlalu siang, jadi kami langsung pergi ke Hongdae, lokasi yang terkenal dengan musisi jalanannya, dan tempat belanja! Sesampainya di Hongdae jelas kami belanja, apalagi yang bisa dilakukan saat melihat tulisan diskon. Saat sudah bosan dengan belanja kami memutuskan minum kopi di salah satu kafe dan lagi-lagi saya kagum dengan kopi di Korea, sejauh ini sesuai dengan rasa yang saya suka, terlebih lagi adalah makanan pendamping saat minum kopi mereka super enak! Salah satunya ada di gambar diatas, yaitu roti panggang yang tebal itu. Super! Setelah perut terisi kopi dan roti kami melanjutkan petualangan belanja sampai malam hari. Dan setelah lelah, kami pulang ke hostel dan tidak lupa mencoba kombinasi makanan yang populer dari drama si alien yang datang ke bumi, yaitu Chi-Maek. Memang makanan asin itu cocok untuk bir, jadi ya apa mau dikata pasti enak. Esok harinya, hari terakhir di Korea, kami disambut dengan salju, walaupun tidak banyak, saya cukup senang bisa bersentuhan dengan salju. Hari terakhir ini, kami sebagai orang Indonesia memiliki banyak "titipan" yang harus dipenuhi, jadilah kami berkeliling mencarinya. Sebelum keliling kami pergi ke Myeongdong, tempat wisata yang ramai pertokoan, jadi kami jelas tidak punya ekspektasi rasa makanan disana. Myeongdong sendiri memang ramai wisatawan, karena banyak toko-toko, mulai dari kosmetik sampai pakaian. Setelah makan, kami memutuskan untuk jalan ke Dongdaemun Plaza. Disana kami berjalan mengelilingi pasar tradisional dan melihat gedung ikonik DDP. Di DDP terjadi pengalaman aneh, yaitu bertemu EXO. Ya, grup laki-laki yang digandrungi banyak perempuan, mereka lewat di depan hidung saya. Saya sempat bingung saat mereka lewat dan baru sadar setelah pergi agak menjauh. Ternyata mereka EXO, setelah dikonfirmasi dengan teriakan orang-orang disekitar yang melihat mereka. Aneh, tapi senang karena bertemu Chanyeol di depan hidung sendiri. Setelah pengalaman aneh, kami pergi minum kopi, setelah kami masuk kafe, diluar tiba-tiba badai salju, untung kami sempat menyelematkan diri. Anehnya, pengalaman aneh tidak berhenti disana, di kafe kami berada, Dina terlihat bingung. Dia bilang sepertinya tadi dia bertemu G-Dragon, ya G-Dragon (GD). Dia sempat bingung, karena orang di sebelahnya pakai masker, datang bersama laki-laki yang sepertinya adalah manajernya, dan yang penting adalah dia pakai anting khas GD, anting salib menggantung. Kami begitu semangatnya sampai mencoba cek ke lantai dua untuk membuktikan benar atau tidak. Pada akhirnya pemandangannya tidak terlalu jelas, jadi kami menyimpulkan itu benar GD, kalau tidak benar kami juga tetap senang dengan pengalaman ini. Tujuan berikutnya adalah Gangnam. Secara khusus kami datang kesana untuk mendatangi satu toko yang menjual kosmetik yang biasa dijual oleh Wishtrend (online shopping kosmetik Korea). Karena kami pelanggan setia Wishtrend jadi kami kesana untuk mencari barang-barangnya. Gangnam sendiri bagi saya terasa seperti SCBD, gedung perkantoran, perbelanjaan, dan terasa memang daerah mahal. Menariknya, disana kami menemukan satu toko yang hanya menjual kaos kaki dengan segala motifnya. Yang lebih penting lagi harganya murah. Jadi ada hikmahnya pergi ke Gangnam. Setelah pergi ke Gangnam kami berpindah ke Insadong, daerah dengan bangunan tradisional, tapi kami sampai sana sudah cukup sore dan hari itu Seoul sangatlah dingin ditambah angin kencang. Jadilah kami setelah mendapatkan titipan yang dicari, kami berlindung dari angin dingin ini ke sebuah kafe. Kami menunggu di kafe itu sampai waktunya tiba makan malam di rumah teman lainnya Dina. Saat makan malam, kami membawakan hadiah untuk tuan rumahnya yaitu tisu toilet, benda ini berarti kami mengharapkan keberuntungan datang kepadanya di rumahnya ini. Malam terakhir kami resmi berakhir dengan makanan Korea buatan rumah dan kemudian kami memutuskan untuk berjalan kaki dari Namsan Tower menuju hostel kami untuk menikmati pemandangan, tapi juga sekalian mampir ke mini market. Besoknya kami pergi pagi menggunakan mobil yang ternyata mobil sewaan dan harganya mahal.... Tapi yasudahlah, akhirnya kami bisa sampai tepat waktu di bandara. Terakhir, keanehan kami berlanjut, kami bertemu SISTAR di bandara dengan jarak di depan hidung kami. Satu kesannya, ternyata mereka pendek ya, dan Dasom memang aslinya cantik (enggak penting). Ternyata banyak artis di bandara hari itu, karena mereka akan pergi ke penghargaan MAMA. Bertemunya dengan SISTAR menjadi penutup petualangan saya dan Dina di Korea. Pengalaman yang sangat berkesan, karena ini pertama kalinya saya jalan-jalan sendirian di luar negeri, walaupun sebentar lalu bertemu Dina, tapi ini benar-benar pengalaman yang mengasyikkan. Mungkin saya tidak mengunjungi lokasi turis biasa datangi di Korea, tapi seru rasanya bisa merasakan datang ke tempat yang biasa didatangi orang lokal. Mungkin harus sedikit menyukai Korea untuk datang ke negaranya, tapi kalau tidak suka pun makanan disana enak-enak dan banyak tempat yang bisa didatangi tanpa harus suka K-pop. Dan sudah jelas saya akan kembali ke Korea di tahun-tahun berikutnya! Awal 2010 bulan Agustus adalah awal di mana saya mengenal antropologi UGM. Saat itu mahasiswa baru diperkenalkan dengan banyak elemen yang melengkapi jurusan antropologi dan salah satunya adalah "Kandhang". Kandhang adalah tempat utama dari jurusan antropologi, pada saat itu, Kandhang adalah perpustakaan dan ruang dosen berada. Masih ingat pada saat itu perpustakaan sangat kecil, sehingga semua orang terpaksa untuk menjadi lebih dekat. Disamping perpustakaan terdapat ruang-ruang dosen. Jelas, saya masih ingat di mana itu adalah ruangan paling menegangkan, sebab disana terletak ruang dosen pembimbing akademik, yaitu Alm. Hari Poerwanto. Rasa menegangkan lain yang terpancar dari Kandhang adalah ruang di depan perpustakaan dan ruang dosen, yaitu kursi-kursi dan meja yang terbuat dari keramik serta semen. Itulah lokasi menegangkan lainnya, sebab banyak senior berkumpul disana. Maklum, mahasiswa baru, melihat senior rasanya melihat polisi di jalanan saat musim razia tiba. Melalui pengalaman yang saya rasakan, kalau kita berhasil duduk dan bergabung dengan manis di lokasi kursi-kursi tersebut, artinya kita hebat. Butuh proses yang bertahap sampai pada akhirnya saya bisa duduk dengan perasaan tenang tanpa harus merasa gelisah seperti perasaan menunggu Mbak Penjual Roti yang biasa datang ke FIB di sore hari. Agaknya saya kurang ingat apakah saya aktif berada di Kandhang atau tidak selama masa awal kuliah saya. Jika ingatan saya tidak salah, saya merasakan kesenangan saat dapat nongkrong di Kandhang sampai malam hari. Namanya juga baru lulus SMA dari sekolah Katolik dengan peraturan ketat, rasanya masuk kuliah bisa nongkrong sampai malam itu seperti dapat makanan seminar dari dosen, senang. Bonus nongkrong di Kandhang adalah dapat menjalin silahturahmi dengan para senior, yang akhirnya mencapai fase nongkrong di luar. Pastinya sampai pagi. Semuanya bermula dari Kandhang. Saat awal kuliah dan tergabung sebagai anggota KEMANT (Keluarga Mahasiswa Antropologi), saya juga merasakan manis getir Kandhang. Manisnya Kandhang hadir disaat mahasiswa jurusan lain mengantuk diantara jadwal perkuliahan, mereka tertidur di kursi-kursi kampus atau mungkin cari tempat lain, sedangkan saya serta teman-teman punya Kandhang. Manis lainnya adalah saya bisa berkreasi dengan ruang yang ada di Kandhang. Masih ingat masa di mana saya dan teman-teman divisi publikasi membuat majalah dinding "Pewarta", yang akhirnya tidak aktif dan digunakan sebagai papan pengumuman. Getirnya adalah saat melihat Kandhang berantakan setelah acara-acara selesai. Sisanya cukup banyak manis yang dirasakan saat awal bertemu Kandhang. Tengah Memasuki masa "tengah", saya secara "kecelakaan" yang selalu mengesankan jika diingat, saya dicalonkan menjadi ketua KEMANT, dan akhirnya terpilih. Inilah masa di mana hubungan saya dan Kandhang semakin intens. Saat di awal saya bilang mengenai kondisi Kandhang yang berantakan setelah acara-acara selesai. Kondisi ini semakin intens saya rasakan. Gambar diatas adalah satu masa intens saya bersama Kandhang yang akan selalu saya ingat. Kondisi Kandhang yang sering berantakan membuat saya ingin menatanya, bisa dibilang saya lebih rajin membersihkan Kandhang (pada waktu itu), dibandingkan membereskan kamar saya pribadi. Saat itu keadaan Kandhang sangatlah unik, kita menemukan kotoran kucing yang baunya luar biasa, ada makanan basi, dan KEMANT memiliki ruangan sendiri yang sangat luas. Akhirnya proses membersihkannya pun dimulai dari pagi hari sampai malam dan berakhir dengan rupa seperti gambar diatas. Galon lengkap dengan aneka minuman disampingnya (hasil peninggalan), meja komputer, papan kerja, lemari obat, lemari dokumen, dan karpet bersih untuk tidur dengan manis. Semua adalah hasil kerja bersama teman-teman. Saya rasa mereka lelah selama masa kepemimpinan saya, isinya hanya rapat dan bersih-bersih Kandhang. Walaupun kondisi Kandhang yang seperti gambar diatas itu tidak bertahan lama, saya tetap senang dengan segala prosesnya. Masa tengah bukan berarti masa tegang di Kandhang berlalu. Kandhang akan selalu menjadi saksi persiapan inisiasi, kegiatan tahunan yang dilakukan mahasiswa antropologi. Salah satu hal yang akan membuat Kandhang menjadi saksi adalah momen perjumpaan panitia dengan senior untuk presentasi. Momen menegangkan, di mana panitia dan senior duduk saling berseberangan seakan masing-masing dari tiap pihak akan berteriak "spartan" lalu saling menyerang. Tenang ini hanya imajinasi saya, tidak ada baku hantam fisik, hanya kata. Lagi-lagi Kandhang menjadi saksi setiap peristiwa ini terjadi. Akhir
Masa-masa akhir perkuliahan saya memang bisa dibilang hubungan saya dengan Kandhang merenggang. Skripsi adalah alasan utamanya, saya akan lebih konsentrasi jika mengerjakan di rumah. Itu alasannya saat masa skripsi saya bisa tidak keluar rumah hampir dua minggu. Walaupun demikian tetap saja skripsi saya selesai dalam waktu satu tahun. Bulan-bulan skripsi, Kandhang selalu menjadi tempat nyaman untuk diskusi bersama teman, tetap dalam permasalahan rumit skripsi. Kandhang menjadi tempat untuk reuni saat masa skripsi berlangsung. Sering kali kita kaget dan senang melihat teman yang jarang kita temui karena terasingkan bersama skripsi. Lebih akhir lagi, tampilan foto-foto diatas adalah pemandangan yang saya dapatkan dari Kandhang. Kandhang akan segera pindah atau lebih tepatnya dihilangkan untuk sesuatu yang nantinya (semoga) lebih baik. Kardus-kardus, rak buku kosong, tetapi masih banyak orang yang duduk di dalam menulis. Pemandangan yang sepi, jika dibandingkan dengan masa awal saya bersentuhan dengan Kandhang. Itulah pemandangan terakhir yang saya dapat. Awal-Tengah-Akhir Rasanya setiap masa ingin saya ceritakan lebih banyak lagi mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi. Namun, rasanya tidak lengkap berbicara Kandhang tanpa menyebutkan Mas Sarwo. Sosok penting yang selalu menghidupkan Kandhang. Mas Sarwo itu penolong yang sabar saat awal kuliah sampai bisa memakai toga. Kalau komputer Kandhang rusak dan sulit mencari buku, sebut judul atau isi buku, Mas Sarwo tahu keberadaannya. Saat situasi Kandhang sepi, Mas Sarwo jawabannya untuk membuat kita tetap terhibur dengan segala ceritanya. Dan berbicara mengenai cerita, Mas Sarwo adalah sumber segala cerita dari segala topik dunia antropologi dan FIB. Mulai dari gosip sampai pengalamannya melihat pengejaran mahasiswa dan aparat yang dahulu pernah terjadi. Sangat cepat dan akurat! Cerita mengenai Mas Sarwo rasanya tidak akan bisa berhenti, sama halnya saat berbicara mengenai Kandhang. Saat ini dan masa depan Kondisi Kandhang saat ini sudah rata dengan tanah. Hanya puing-puing bangunan yang tersisa. Perpustakaan telah berpindah sementara ke Gedung Margono. Ruang dosen-dosen pun juga telah lama berpindah ke Gedung Margono. "Sorkle" juga telah lama diratakan dengan tanah dan digantikan dengan bangku-bangku besi hitam. Ajakan "ayo ngandhang" mungkin akan terdengar janggal, sebab bangunan fisiknya telah hilang. Saya mungkin bukanlah orang yang selalu setiap saat berada di Kandhang. Namun, secara pribadi saya merasa setiap orang berhak mempunyai memori masing-masing terhadap Kandhang, baik maupun buruk. Ikatan tiap individu pun akan berbeda terhadap Kandhang, ada yang sedih dan menyesali, tetapi ada juga yang menerimanya, atau mungkin ada yang tidak peduli, tidak ada yang tahu. Bagi saya, saya hanya bisa mengenang Kandhang dalam ingatan, karena fisik saya tidak berada disana. Tulisan ini salah satu wujud saya dalam mengenang keberadaan Kandhang. Bagi yang masih aktif di perkuliahan atau masih sering berada di lingkungan Kandhang, mengenang Kandhang dilakukan berkumpul dan berkegiatan bersama. Fisik Kandhang memang sudah tidak ada lagi dan saat ini mungkin muncul bagaimana tetap bisa menghidupkan Kandhang tanpa fisik yang pasti. Jika Kandhang adalah manusia, ia pasti sosok anak populer yang mempunyai banyak teman dan mempunyai banyak penggemar. Kalau begitu, senang berteman dengan Anda, Kandhang! Ya, hampir satu tahun lamanya saya enggak menyentuh laman pribadi saya ini. Kalau boleh membuat alibi, akhir tahun lalu sibuk mengurus skripsi yang tertunda setelah jalan-jalan, butuh satu tahun lamanya menyelesaikan 70 lembar demi memakai toga dan bangun jam empat pagi untuk bersiap wisuda. Kemudian setelah berhasil mengeluarkan diri dari universitas, saya sibuk mengurus sebuah kelompok yang baru dibentuk dengan beberapa teman-teman. Memang alibi yang kurang menarik rasanya, tapi mau apalagi, itu satu-satunya alasan yang saya punya. Enggak mungkin kalau saya buat alibi saya sibuk mencari kerja. Kenapa? Mari saya mulai ceritanya. Seperti layaknya mahasiswa pada umumnya yang setelah lulus akan sibuk mencari kerja, saya juga mencoba melakukannya. Mula dari bikin akun di Jobstreet, sampai memperbarui data diri di Linkedin. Tapi ya gitu, saya enggak merasa ada kerjaan yang cocok dengan saya, tidak ada yang sesuai. Sempat terpikir untuk mengambil kerjaan yang "mungkin" saya akan suka, yang penting saya punya uang untuk hidup. Hasilnya tetap saja enggak dilakukan. Susah memang mencari kerja, saya akui ya, susah banget. Apalagi kalau mencari yang sesuai dengan apa yang kita inginkan. Bagi banyak orang lain di luar sana mungkin ada yang mudah setelah lulus langsung dapat kerja, tapi ya ada juga yang enggak kan. Akhirnya saya mulai "sok ide" dengan mencari pekerjaan yang sesuai minat saya, yaitu dunia makanan. Bicara soal ketertarikan dengan makanan, saya bukan hanya tertarik dengan memasak, menulis resep, menulis ulasan tempat makan, tapi lebih dari itu. Saya tertarik gimana makanan bisa menjadi pintu untuk berbicara isu yang lebih luas, politik, seni, budaya, ya masih banyak lagi. Lalu datanglah ide untuk mencoba mendaftar kerja di sebuah laman ternama di Singapura yang aktif menulis tentang makanan. Setelah beberapa hari mereka membalas untuk menerima saya. Senang kan hati ini rasanya, tapi sayangnya kesenangan ini enggak bertahan lama, soalnya habis itu saya digantungin. Menurut keterangan beberapa teman yang berpengetahuan soal Singapura, mendapatkan ijin bekerja disana cukup sulit, kalau tempat kerjanya enggak mau ngurusin, akan sangat susah. Jadilah saya batal bekerja dengan mereka, terus saya baper (bawa-perasaan, istilah anak sekarang) kalau ada yang sebut-sebut nama calon tempat saya kerja di Singapura itu. Tapi yasudahlah, mau apalagi kan ya. Kemudian saya bingung harus apa, kemana, ngapain. Melihat teman-teman saya saat SMA yang sudah bekerja, ber-uang, membuat saya suka iri. Namanya juga manusia, sukanya iri. Tapi ya saya kemudian berpikir, untuk apa saya kerja dapat uang, tapi saya enggak suka kerjaannya? Akhirnya saya memutuskan untuk melakukan apa yang saya suka. Asik ya kan, saya terdengar seperti bisa bikin hashtag untuk hidup saya kayak: #passionchaser #livetothefullest #carpediem. Balik lagi ke permasalahan "melakukan apa yang saya suka", untungnya ada teman saya yang datang dikirimkan Allah untuk mempunyai pikiran yang sama dengan saya, yaitu ketertarikan dengan makanan. Kita berdua kemudian membuat kelompok studi yang berfokus pada isu makanan. Kita beri nama "Bakudapan Food Study Group", hasil bantuan dari seorang inisiator Yes No Wave. Dua video diatas adalah sedikit dari banyak kegiatan yang saya lakukan bersama teman-teman dari Bakudapan. Kalau mau lihat lebih banyak lagi bisa buka laman Bakudapan di http://bakudapan.com. Kegiatan dengan Bakudapan ini sudah berlangsung selama hampir setengah tahun. Cukup banyak kegiatan yang kami lakukan, kalau enggak percaya buka laman Bakudapan. Kegiatan belakangan ini kami sedang mempersiapkan membuat jurnal tentang topik yang kita angkat untuk proyek pertama ini. Terdengar seru? Tapi banyak orang, di luar lingkungan baru saya bersama Bakudapan yang bertanya, "dapat untungnya darimana?". Susah saya jawabnya, saya juga melakukan kegiatan dengan Bakudapan ini hasil ke-ikhlasan teman-teman yang tergabung di dalamnya. Kalau butuh dana untuk kegiatan kita saling mengumpulkan uang pribadi.
Kalau enggak dapat uang, lalu ngapain jalanin kegiatan dengan Bakudapan? Kalau boleh bilang dengan buat alibi, alibi saya "namanya juga Generasi Y". Generasi Y (lahir tahun 1980-2000) generasi yang katanya (hasil diskusi dengan beberapa orang) adalah generasi yang senang mempertanyakan banyak hal, erat sekali dengan internet sampai setengah harinya hidup ada disana, melakukan apa yang mereka inginkan, walaupun mereka punya rencana masa depan, tapi mereka hidup di masa sekarang dan mengejarnya. Kalau mau contoh mudah, salah satunya ya saya ini; tidak mencari pekerjaan tetap, tapi mengejar apa yang saya sukai serta nikmati dengan dukungan orang tua - walaupun enggak punya penghasilan tetap, kalau sakit enggak ada asuransi perusahaan yang menanggung, kalau uang habis sedih (semuanya juga gitu). Saya bukan mencoba generalisir semua Generasi Y itu seperti yang saya bicarakan, tapi kalau boleh kasih contoh, ya saya ini. Secara sadar, saya memang jadi bagiannya. Tapi ya gimana lagi, saya memang punya mimpi dengan apa yang saya lakukan sekarang ini, Bakudapan, berharap kedepannya punya tempat sendiri, ada perpustakaan, dan menjadi tempat studi (yang mungkin pertama) di Indonesia yang fokus terhadap makanan dengan pendekatan dan praktik yang beragam. Mewujudkan semua ini jelas butuh waktu dan banyak ketidakpastiannya. Terlihat meragukan mungkin ya apa yang saya kerjakan saat ini bersama teman-teman, tapi ya gitu, saya melakukan apa yang saya suka walaupun banyak resikonya, namanya juga Generasi Y, jadi maklumin aja... Menggunakan salah satu maskapai kebanggaan Indonesia, gue berangkat ke Korea Selatan pukul 23.35 WIB. Segala persiapan telah dilakukan beberapa hari sebelumnya, mulai dari pencarian tempat tinggal, transportasi umum, dan tempat wisata yang dikunjungi. Persiapan gue lakukan dengan begitu rinci, berbeda dengan perjalanan yang lain, ini adalah debut gue melakukan perjalanan sendirian ke luar negeri, walaupun pada hari keempat gue dipertemukan kembali dengan Sista Dina (kakak maksudnya), hari-hari sebelumnya harus gue jalani seorang diri. Perasaan tegang meracuni setiap bagian dalam diri gue, mulai dari pikiran, sampai penampilan. Apa yang gue maksud dengan penampilan? Korea Selatan terkenal dengan orang-orangnya yang pandai memakai riasan dan berpakaian. Gue, mahasiswa yang sangat tidak pernah menyentuh riasan, merasa tertekan, terlebih lagi kondisi wajah gue yang saat ini jerawatnya sedang dikeluarkan oleh sang-dokter-maha-sibuk di Moestopo itu. Betapa tertekannya gue untuk menutupi kondisi wajah yang saat ini sedang tidak prima. Pemilihan baju untuk keberangkatan pun sangat membingungkan, gue sebisa mungkin untuk berpenampilan cukup trendi. Semua ketengangan akan penampilan gue ini tidaklah sia-sia, walaupun ada sedikit sia-sia, tapi semua akan terjawab nanti. Kembali lagi mengenai keberangkatan, perjalanan ke Korea Selatan membutuhkan waktu kurang lebih 6,5 jam dan perbedaan waktu 2 jam lebih cepat dari Jakarta. Gue, orang yang sangat membenci guncangan di pesawat alias turbulence, menghindari naik pesawat saat musim hujan, telah mengalami 6,5 jam paling menyenangkan. Sebelumnya di tahun 2013, gue pergi ke Jerman dalam rangka pertukaran mahasiswa, selama 4 jam, pesawat gue mengalami guncangan, gue merasa agak tenang karena ada teman yang satu pesawat dengan gue. Kali ini pesawat menuju Korea Selatan, gue mengalami 6,5 jam guncangan seorang diri dengan penumpang di sebelah yang punya bau mulut. Betapa menyenangkannya hidup ini. Sesampainya di Incheon, alias di bandara Korea Selatan, gue langsung menyiapkan diri untuk pergi menuju Busan. Di bandara sendiri pada akhirnya gue memutuskan untuk tidak menyewa WiFi Portable yang sebelumnya sudah dipesan, karena setelah gue pikir-pikir, uang untuk menyewa bisa dipakai untuk hal lain, misalnya belanja dan makan. Hal utama yang dilakukan berikutnya adalah membeli tiket bis untuk ke Busan, ya, gue memilih untuk naik bis, karena menurut keterangan beberapa orang akan lebih murah. Setelah tiket bis didapatkan, hal yang langsung gue lakukan adalah, membeli T-money. T-money adalah sebuah kartu yang berfungsi untuk membayar kereta bawah tanah, bis, taksi, dan belanja. Namun, kartu ini tidak berlaku di semua daerah di Korea Selatan, salah satunya di Gwangju kota yang gue kunjungi setelah Busan, mereka mempunyai sistem pembayaran sendiri. Gue mengisi T-money sebesar 30,000 Won dan bertahan selama hampir seminggu. Sebenarnya ada cerita mengenai proses makan selama berwisata ini, tapi karena dalam laman ini gue punya bagian sendiri mengenai makanan, akan dituliskan secara lebih spesifik di bagian "feast". Baiklah, singkat cerita setelah segala persiapan gue lakukan di dalam bandara selesai, gue keluar dan menghadapi kejamnya cuaca di Incheon. Busan yang lokasinya dekat dengan pantai terasa lebih hangat dibandingkan Incheon, jadi 10 menit menunggu kedatangan bis, terasa seperti 20 menit karena dingin. Bis yang ditunggu datang dan secara jelas gue bisa bilang perjalanan ke Busan memakan waktu kurang lebih 5 jam, sepanjang perjalanan gue cuma bisa tidur. Bodoh sih malah tidur, tapi gue nggak punya daya untuk tetap bangun setelah 6,5 jam nggak tidur di pesawat karena guncangan. Oya, keputusan gue untuk nggak menyewa WiFi Portable cukup baik, karena di bis yang gue naiki, mereka mempunyai akses internet, jadi aman. Setelah sampai di Busan, gue langsung menuju ke kereta bawah tanah, dengan muka sok percaya diri gue menggunakan teknologi yang belum pernah gue temukan, seperti menempelkan T-money pada mesin untuk dapat masuk ke stasiun kereta bawah tanah. Saat masuk ke kereta gue dengan percaya diri yang tinggi langsung duduk di kursi kosong, tapi ternyata kursi itu khusus untuk orang lanjut usia, perempuan hamil, dan perempuan yang membawa anak. Bodohnya gue baru menyadari ini setelah sampai di tujuan. Untungnya nggak ada yang mengusir, mungkin gue terlihat pendatang dan membawa koper. Lucunya, di kereta bawah tanah gue mendapatkan makanan pertama di Busan, yaitu sebuah jeruk yang diberikan seorang nenek karena gue membantu dia naik ke kereta. Muka neneknya terlihat sangat senang saat gue bantu, walaupun dia mengajak ngobrol dengan Bahasa Korea yang sepenuhnya belum gue mengerti, dia tetap berbaik hati menawarkan makanannya. Perjalanan panjang menuju Busan selama 5 jam dan perjalanan dari terminal bis ke hostel selama 1 jam dengan 3 kali ganti jalur, akhirnya selesai setelah bertemu kasur di hostel, walaupun diterjang kencangnya angin musim dingin di Haeundae, gue berhasil selamat. Singkat cerita, malam pertama di Busan gue habiskan diatas kasur, alias tidur. Hibernasi yang cukup panjang pada malam pertama gue di Busan merupakan keputusan yang baik, sebab besoknya gue mengalami hari yang melelahkan saat berjalan-jalan. Foto dari cerita perjalanan di Busan ini dapat ditemukan pada galeri yang ada diatas tulisan ini, mulai dari pemberhentian pertama, sampai yang terakhir. Pemberhentian pertama lokasi wisata yang gue datangi adalah Yonggungsa. Perjalanan mencapai lokasi ini cukup menantang bagi pendatang, karena tidak ada halte yang jelas untuk berhenti, jadi harus memastikan ke supir kalau kalian akan turun di Yonggungsa, lebih detil lagi bisa dicari melalui Google pengalaman orang yang menuju lokasi ini. Lokasinya yang berada di tebing pinggir laut membuatnya menjadi lebih dramatis dari segi pemandangan. Selama disana gue menemukan banyak rombongan ibu-ibu dan bapak-bapak yang datang menaiki bis untuk berdoa di kuil. Banyak patung-patung yang menyimbolkan keselamatan, pendidikan, kesuburan kandungan, dan rejeki. Hampir sama seperti kuil lain yang gue kunjungi dan gue pun juga ikut serta memberi hormat kepada beberapa patung, salah satunya patung yang melambangkan shio gue, yaitu kambing. Selain itu gue juga ikut menghormat kepada patung yang melambangkan kesuksesan pendidikan, siapa tau diberkati skripsinya kan.
Pemberhentian dua gue sangatlah singkat, yaitu Busan Museum of Art. Museum ini menjadi lokasi untuk Busan Biennale, tetapi sayangnya gue nggak jodoh, karena mereka tutup hari itu. Setelah melihat tutupnya museum, gue melanjutkan ke pemberhentian tiga, yaitu Gamcheon Culture Village. Gamcheon Culture Village ini terkenal dengan rumah-rumah warganya yang berwarna-warni dengan kontur tanah yang berbeda, membuat pemandangannya semakin menarik. Lokasi ini merupakan tujuan wisata yang terkenal di Busan, jadi tidak sulit untuk mencapai lokasi ini. Saat menaiki bis kecil, kita cukup memberitahu akan berhenti di Gamcheon, dengan logat yang asing, pasti sang supir akan memahami kalau kita turis dan dia akan memastikan kita turun di lokasi yang benar dengan menunjukan selebaran yang dimilikinya. Menariknya dari perjalanan menuju Gamcheon adalah lokasinya yang menanjak, cukup menantang saat ditempuh dengan menggunakan bis kecil (seperti elf kira-kira), dan supir bis yang gue naiki adalah seorang perempuan, jalanan yang berliku, menanjak, serta sempit, ditambah akan berhenti sewaktu waktu, membuat gue salut dengan kemampuan menyetirnya. Setelah sampai di lokasi, agar aman, lebih baik membeli peta atau membaca peta dengan benar agar nggak bernasib sama seperti gue. Gue yang terlalu asik melihat pemandangan, nggak memperhatikan peta, dan bodohnya gue mengikuti salah seorang turis yang membawa peta, lalu berakhir tersesat. Tersesat di Gamcheon bukan ide yang manis, tanjakan di lokasi ini memiliki kemiringan sekitar 45 derajat, dan kalian akan menemukan banyak jalanan seperti ini jika tersesat. Gue memutuskan untuk berpisah dari si turis yang menyesatkan ini dan berakhir mencari jalan sendiri. Total waktu yang gue habiskan di Gamcheon dengan tersesat, memakan waktu hampir 3 jam. Lokasi yang sangat menarik untuk dikunjungi, sayangnya sejarah yang dirangkum dalam sebuah museum kecil disajikan dengan Bahasa Korea, jadi agak disayangkan karena turis jadi kurang memahami sejarah detil mengenai Gamcheon, walaupun bisa dicari di Google. Pemberhentian empat adalah pemberhentian terakhir setelah wisata edukasi yang gue lakukan, ditutup dengan wisata belanja, yaitu Nampo-dong. Seperti lokasi perbelanjaan lainnya, banyak toko yang menjual pakaian bermerk dan kosmetik khas Korea Selatan, seperti Etude, Nature Republic, atau Missha. Toko-toko ini hampir mirip seperti di Mangga Dua, di mana para penjaga toko akan sibuk berteriak di luar toko mempromosikan barang-barang mereka, mungkin kalau diterjemahkan omongan mereka akan menjadi, "Eonni, boleh eonni BB Creamnya" atau "Oppa, CC Cream lagi diskon loh", mungkin ya. Namun, lokasi yang paling membuat gue bersemangat adalah lorong yang menjual pakaian bekas! Biasanya di Jogja banyak baju bekas yang berasal dari Korea dan sekarang gue di pusatnya baju bekas! Banyak baju bekas yang menarik, tapi sayangnya karena lagi mau musim dingin, baju yang dijual jaket-jaket musim dingin dan baju hangat. Gue nggak beli apa-apa, karena koper yang gue bawa nggak memadai untuk beli jaket yang berat dan tebal itu. Pada akhirnya, sebagai orang yang menyenangi emblem, gue memutuskan membeli emblem bendera Korea Selatan. Mungkin akan lebih menarik datang ke Nampo-dong saat musim panas, jadi baju bekas yang dijajakan bisa dipakai di Indonesia kapanpun. Perjalanan di Busan berakhir di Nampo-dong. Tadinya gue akan pergi ke Shinsegae di Centum City, Shinsegae adalah pusat perbelanjaan terbesar di dunia (menurut Guinness Book of Records). Sebagai anak yang besar dekat dengan pusat perbelanjaan, gue cukup penasaran sebesar apa tempat ini. Namun, karena gue sangat amat lelah menanjak di Gamcheon, gue memutuskan untuk pulang ke hostel. Kesannya nggak asik sih pulang lebih awal, tapi besok pun gue harus pergi pagi untuk berangkat ke Gwangju. Kalau digambarkan, Busan itu agak mirip seperti Jogja, kota, tapi tidak terlalu besar, dan salah satu tujuan utama turis. Gue merasa nyaman dengan Busan, walaupun singkat, tapi gue bisa membayangkan gue tinggal disana, sama seperti di Jogja, ramai tapi tidak seramai Jakarta atau kalau di Korea Selatan, seperti di Seoul. Demikian akhir hari satu dan dua di Busan, tulisan berikutnya adalah petualangan di Gwangju! Hai para pembaca yang kayaknya ada! Memasuki akhir tahun 2014, gue mengalami petualangan yang sangat mengesankan, sulit dipercaya, tapi terjadi. Menutup tahun 2014, gue melakukan perjalanan ke negara yang diimpikan semua penggemar K-pop, yaitu Korea Selatan. Terima kasih kepada Ibu Ita atas sponsor yang diberikan kepada anak ini selama perjalanan dilakukan. Sedikit berbagi, Ibu Ita nggak pernah membelikan barang, sepatu, handphone, baju, semua gue beli dengan sisa uang pribadi yang diberikan dia setiap bulan. Datang ke konser 2NE1? Itu hasil keringat sendiri, Ibu Ita nggak bakalan mau bayarin. Bagi Ibu Ita, dia lebih senang memberikan anaknya pengalaman daripada barang yang seharga dengan pengalaman. Perjalanan ke Korea Selatan ini sendiri bentuk "barang" yang dia hadiahkan dalam rangka ulang tahun dan hadiah (hampir) lulus. Terima kasih Ibu Ita!
Tulisan ini sendiri belum menceritakan perjalanan gue selama disana dan cerita perjalanan akan dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu menurut kota yang gue datangi. Gue nggak bisa bilang tulisan ini sebagai tulisan perjalanan, karena gue yakin gue nggak akan membantu bagi mereka yang akan datang ke Korea Selatan. Tulisan gue ini murni hanya berbagi pengalaman yang gue rasakan selama disana. Selamat membaca! Hai para pembaca yang entah ada dan tiada. Masih dalam rangka belum bisa meninggalkan memori konser 2NE1 kemarin, gue kali ini mau sedikit banyak menuliskan opini atau bayangan gue mengenai budaya Korea yang sedang merajalela. Lihat dari judulnya aja "Korean Dream", biasanya kata-kata ini familiar dengan "American Dream", kalau melihat acara di Amerika, dalam beberapa kalimat sering mengucapkan "American Dream", kayak "I went to New York to pursue my American Dream". Mimpi Amerika itu sebenarnya abstrak bagi gue (sekali lagi ini opini, bukan ilmiah), walaupun ada penelitian ilmiah yang meneliti tentang "American Dream". Bagaimana mimpi hidup di Amerika itu indah, seindah ambisi orang-orang yang menginginkan untuk menjalani kehidupan itu. Banyak dari kita yang sudah dekat dengan budaya Amerika sejak masih kecil, nggak perlu jauh-jauh, mulai saja dari makan di McDonalds, semua pasti pernah makan di salah satu restoran cepat saji yang terkenal di dunia ini. Selain itu kita juga dekat dengan acara-acara drama Amerika di televisi kita, sebut saja Dawson Creek, Buffy, atau acara-acara seperti Ripley's Believe it or not, Guinness Book of World Records, dan masih banyak lagi. Selain itu acara musik seperti MTv yang cukup terkenal dengan VJ mereka Sarah Sechan dan Jamie Aditya. Walaupun mereka menayangkan musik Indonesia, tapi kita juga disuguhkan juga musik-musik populer di Amerika, misalkan Britney Spears.
Rasanya dalam tulisan kali ini gue mungkin akan dihina oleh para SONE dan Blackjack di Indonesia, kalau mereka menemukan tulisan ini. Sebelumnya gue pernah posting tulisan mengenai sisi lain dari diri gue adalah kesukaan gue dengan Girls' Generation, dan sampai sekarang pun masih demikian adanya. Bukan maksud pamer, salah satu bukti dukungan gue dengan eksistensi Girls' Generation adalah gue membeli album asli mereka, bukan download torrent atau apapun itu yang ilegal. Selain itu gue pun masih menggandrungi acara-acara variety mereka, seperti baru-baru ini Jessica dan Krystal membuat acara reality mengenai kehidupan mereka. Bukti ini bukan maksud dari pembelaan, tapi ya namanya, juga suka, bukan berarti gue harus suka mereka aja kan? Gue juga terbuka dengan adanya kelompok musik lain, salah satunya adalah 2NE1, sudah gue sebutkan sebelumnya kalau gue mengakui musik mereka memang lebih bagus dibandingkan dengan Girls' Generation, terutama (mohon maaf) album comeback Girl's Generation kali ini bisa dibilang kalah jika dibandingkan dengan 2NE1 dan dibandingkan album mereka yang "I Got a Boy". Jadi gue membeli kedua album asli kedua grup ini yang berasal dari agensi yang berbeda, dan memang gue akui album 2NE1 "Crush" memang bagus, lagu-lagu yang terdapat di album ini berbeda dengan album mereka yang sebelumnya, lebih dewasa, dan lebih matang, gue acungi jempol dengan kerja keras mereka selama beberapa tahun ini.
Gue sebenarnya pada awalnya mendengarkan 2NE1 ini udah agak lama, tapi nggak begitu mendalami, kemudian gue ada di satu waktu mulai mendengarkan lagu-lagu bergenre hiphop, musik yang mungkin kalau orang lihat nggak cocok dengan gue apalagi penampilan. Gue nggak suka pakai celana longgar atau topi-topi artis hiphop, cuma musik hiphop dan rap juga, membuat gue semangat, apalagi belakangan gue sering olahraga dan musik hiphop cocok untuk kegiatan ini. Gue kemudian mulai melihat lagu-lagu 2NE1 yang lama, ternyata memang bagus, dan memang gak bisa dibandingkan dengan Girls' Generation, karena genre mereka yang berbeda. Kemudian sampailah gue mulai mendownload album baru mereka ini, setelah sebelumnya ada lagu-lagu di akhir tahun 2013 yang memang bagus, seperti "Missing You", "Do you love me", dan "Falling in love". Album baru mereka ini mengantarkan gue kedalam jurang kefanatikan terhadap mereka. Didukung dengan acara televisi yang menampilkan reality show mereka saat pertama kali terbentuk, yaitu dalam 2NE1TV. Sampai sekarang pun gue jadi mengikuti acara baru, yaitu "Roommate", walaupun di Korea rating mereka belum terlalu bagus, tapi menurut gue acara ini punya kesempatan untuk dapat rating tinggi. Oke kembali lagi pada pembahasan mengenai 2NE1, gue sendiri mengagumi salah seorang anggota mereka, yaitu ketuanya, CL, atau memiliki nama asli Lee Chae-rin. Bisa dilihat dari wawancara yang pernah dia lakukan, menceritakan mengenai fashion, gimana dia menolak untuk melakukan operasi, dan dia tumbuh di keluarga berpendidikan yang membuat dia bisa punya kepribadian dan prinsip yang kuat. Coba cari di google dengan kata kunci "CL interview", kalian bisa paham kenapa gue kagum sama dia. Salah satu kalimat yang gue senang adalah bagaimana dia memaksimalkan tenaga dan pikirannya dalam berkerja, “I want to be someone influential. Through my fashion, music, make-up or whatever it is, I’d like for anyone to have fun and gain confidence from them. I want to live feeling alive. Of course, I’d like to enjoy life (as a woman) too some day. There’s a reason to why I was born as a woman, don’t you think so?” (Sumber wawancara Vogue Korea, http://ygladies.com/news/130709-cls-vogue-korea-interview-july-issue-july-9-2013) Kembali ke permasalahan 2NE1, dua hari yang lalu gue baru nonton konser mereka di Ancol. Satu kata gue kagum. Cukup puas gue dengan menghabiskan gaji kerja sebulan gue dengan nonton konser mereka. Walaupun, ada beberapa hal yang gue agak kecewa, pertama saat CL ganti baju percakapan yang dilakukan Dara, Bom, dan Minzy nggak terlalu lama, cuma sebentar, kalau dibandingkan dengan negara lain, jadi gue agak kurang puas. Kedua, adalah band pengiring mereka nggak kelihatan, jadi kurang kerasa aura konsernya. Ya, 2NE1 tampil live dengan band, makanya bagi gue keren banget, kalau dibandingkan dengan yang lain. Ini adalah konser besar pertama yang gue datangi, konser Kahitna nggak terlalu besar sih, jadi gue menghitung ini sebagai yang pertama. Seperti prinsip gue, gue hanya datang ke konser yang gue memang tahu betul lagunya, makanya gue memutuskan datang ke konser ini. Gue nggak mau menyebut diri gue sebagai Blackjack (kelompok penggemar 2NE1), karena ya kalau gue menyebut diri gue sebagai Blackjack bisa dihina gue, karena gue fans yang bisa dibilang belum terlalu lama. Tapi untuk CL sendiri gue memang die hard fans, setelah keluarnya lagu dia "Baddest Female" gue mulai suka sama dia secara personal, belum secara grup, walaupun pada awalnya gue suka bercandain sama temen gue soal lagu ini. Mulai menyukai secara grup saat gue mulai mendengarkan dan download album-album mereka, mengikuti instagram mereka, dan melihat acara televisi yang mereka bintangi. Jadilah gue fans baru 2NE1, penggemar musik mereka. Setelah tulisan ini, gue harus bisa move on dari aura kegembiraan konser mereka. Dari kemarin gue belum bisa berpaling melihat video dan foto-foto saat konser. Konser 2NE1 kemarin super walaupun dengan beberapa kekurangan yang ada, nggak menyesal sama sekali gue datang ke konser mereka. Terima kasih untuk semua penonton, Blackjack yang telah datang, konser kemarin semakin seru karena kalian, dan terutama 2NE1 atas penampilan yang keren membuat 2 jam terasa seperti 30 menit. Terima kasih! |
Archives
December 2016
|