Hari ini di Jogja hujan mulai dari kira-kira jam 14.00 dan sampai sekarang sekitar pukul 21.00. Nah, di hujan yang berkepanjangan ini, dan ditemani dengan playlist dari Mas Mayer, gue mulai mengulang dan mengingat kejadian-kejadian yang udah lewat. Asik banget ya gaya gue, sok mendramatisir keadaan ceritanya kan. Memutuskan untuk menumpang internet di kantor kakak gue yang cukup dekat dengan rumah adalah pilihan yang tepat untuk menghabiskan waktu. Dan benar, dalam perjalanan menuju kantor kakak gue, di tengah hujan, gue mulai teringat beberapa hal, dan yang ternyata ada satu hal yang udah lama muncul dalam pemikiran gue. Lalu, dengan adanya fasilitas internet, gue memutuskan untuk menuliskannya disini.
Jadi, yang ada di pemikiran gue selama ini adalah mengenai proses kehidupan yang telah gue lalui belakangan ini. Salah satu perkataan yang sering muncul adalah, "Ih, cepet banget deh waktu jalan..." atau mungkin "Astaga, nggak kerasa banget deh....". Nah, mungkin perkataan atau celetukan semacam itu muncul terus. Kalau gue sendiri emang cukup sering dalam beberapa situasi teringat mengenai hal ini dan mulai mengeluarkan perkataan tersebut. Yang sering gue rasakan adalah kayak sekarang gue nggak ngerasa kalau udah 2 tahun aja gue kuliah. Kalau jaman SMA kita sekolah kan umumnya 4 tahun, habis itu nggak kerasa kalau udah selesai abis itu kuliah. Semua rasanya masih wajar, kita masih menempuh pendidikan, walaupun berbeda jenisnya, bukan sekolah lagi, tetapi di universitas. Sekarang? Astaga udah tahun kedua kuliah, dan kalau seandainya menurut usaha dan ketentuan yang Tuhan sudah buat, gue lulus tepat waktu, habis itu apa? Kerja. Pemikirannya sekarang bukan ke jenjang pendidikan lagi, mungkin buat yang belum mau lanjut pendidikan ke S2 ya. Dalam hati gue cuma bisa bilang, "astagaaaaa ; masyaallaaaahh ; omigod omigod", semua itu artinya kepanikan. Mau kerja apa gue? Jujur belum kepikiran sama sekali. Oke, salah satunya mungkin masalah pekerjaan. Hal berikutnya, teman-teman dekat yang sudah memiliki pacar yang hubungannya sudah cukup lama, ada yang cerita pasangannya sudah merencanakan masa depan mereka. Misalnya aja menabung atau beli tanah untuk ke depannya. Ini lagi kan, astaga lagi yang bisa gue keluarin, ternyata semuanya semakin dewasa aja. Sadar. Mulai sadar kalau lingkungan gue bukan lagi lingkungan anak sekolahan yang kalau dulu kita bisa leha-leha aja cuma mikir sekolah, dan sekarang? Pemikiran semacam itu udah nggak bisa lagi buat gue ya. Sekarang ini bagi gue, boleh sih santai-santai menikmati semuanya, tetapi tetap dengan persiapan untuk ke depannya. Bukan hanya masalah pekerjaan, tapi juga gimana gue akan membawa hidup gue untuk nantinya. Kita kan nggak selamanya akan jadi anak sekolahan atau kuliahan kan? Nah, lingkungan gue yang semakin menua ini membuat gue semakin sadar bahwa sesantainya gue, gue tetap harus memikirkan untuk ke depannya hidup gue. Sejauh ini, mulai dari SMP gue berpedoman untuk hidup gue dalam hal menentukan, gue akan menentukan semuanya menurut apa yang gue suka, gue mau, dan gue minati, tapi jelas dengan beberapa pertimbangan. Hasilnya? Menyenangkan, lulus SMP gue memutuskan masuk SMA kemauan gue, walaupun ada SMA impian yang nggak kesampean untuk gue masuki. Oke, hal lainnya pilih jurusan SMA, Bahasa merupakan pilihan gue, karena gue suka, mau, dan minat. Lulus SMA? Gue memilih dengan menaruhnya pada pilihan pertama, yaitu Antropologi Budaya, dan di UGM. Murni hasil pertimbangan gue, ya balik lagi dengan pertimbangan, dan juga suka, mau, dan minat. Sepanjang perjalanan ini, gue sangat menikmatinya, walau ada pasang surut di dalamnya. Nah nah, untuk ke depannya setelah hidup yang gue jalani sekarang ini, tetap gue akan menjalaninya aja, dan juga menerapkan pedoman hidup saya sebelumnya, yaitu suka, mau, dan minat. Semoga dengan pedoman hidup saya, yang menurut saya cukup berhasil, niscaya ke depannya saya akan menjalaninya dengan senang.
0 Comments
Apa yang kalian lakukan saat liburan semester ganjil? Di mana liburan kita hanya terbatas dalam kurang lebih dua minggu lah. Mungkin ada yang liburan, bersenang-senang, melupakan segala macam tugas, dan lainnya. Nah, itu adalah kegiatan gue setahun yang lalu, tetapi sekarang kegiatan gue berbeda, yaitu pergi penelitian ke Watukumpul, Pemalang, Jawa Tengah, Indonesia! Hahaha. Seharusnya sih ya gue bisa ikut penelitian tahun lalu, tetapi karena satu dan lain hal (baca: masih mau bersenang-senang) jadi gue memutuskan untuk ikut penelitian di tahun ini, tahun 2012.
Penelitian kali ini bertema "Kehidupan Desa, Dibawah Sorot Cahaya Lampu Kota", ya, kira-kira begitulah temanya. Awal mula ikut penelitian gue memang sudah berniat untuk mengambil tema yang ringan saja, tidak terlalu berat judulnya, karena gue memang memiliki keterbatasan kemampuan otak, jadi ya beginilah. Oke, gue memutuskan untuk memilih topik penelitian kali ini adalaah.... "Konsumsi dan Gaya Hidup". Terlihat kan? Nah, untuk lebih fokus lagi gue melihat pada bagian konsumsi pulsanya. Banyak hal menarik yang gue temukan saat mencari data mengenai fokus topik yang gue pilih ini. Gue, di Watukumpul sendiri di tempatkan di Dusun Wisnu. Nah, gue gak akan ngomongin hasil penelitian gue apa atau keluarga gue disana gimana, tapi gue akan menceritakan ringkasan kejadian yang cukup berkesan selama penelitian tahun ini. 1. Coak, Kol-coak Nama ini mungkin asing, tapi ini kalau buat gue itu, bagai air di tengah gurun sahara. Ini merupakan satu-satunya kendaraan yang bisa gue naiki disana. Coak adalah satu-satunya kendaraan umum yang lewat di dusun gue, selain dengan menebeng koordinator wilayah tentunya. Coak sendiri sebenarnya adalah mobil pick-up yang dibagian bak yang terbukanya dipasang seperti lis besi yang dibuat sebagai pengaman, agar kita lebih aman saat menaiki coak ini. 2. Mendaki gunung, lewati lembah Ini merupakan kegiatan wajib yang akan gue lalui saat harus pergi ke kecamatan. Untuk pergi ke kecamatan, gue membutuhkan waktu kurang lebih selama kurang lebih 30 menit, mungkin bisa mencapai 45 menit lah. Tergantung kecepatan dan terutama kendaraannya. Jalanan gue untuk menuju kecamatan memang cukup jauh dan cukup rusak. Namun, kalau dibandingkan menuju dusun lainnya, boleh dibilang gue cukup beruntung, karena jalanan lainnya menurut warga setempat itu seperti batu-batuan di sungai, tapi nggak ada airnya. 3. Konflik Sinetron Di bagian ini gue nggak mau cerita terlalu detil karena nantinya bisa menimbulkan salah paham atau gue bisa dianggap pencemar nama baik. Intinya adalah kalian paham mengenai permasalahan elit politik di Indonesia kan? Nah, itu terjadi di dusun yang gue tinggali. Kalau udah menyangkut masalah politik, ekonomi, nggak bisa dipungkiri pasti ada masalah kan, ini bagian menarik yang gue rasakan saat disana. Adanya curhatan-curhatan masyarakat setempat dan bertemu langsung dengan para elit politik di dusun tersebut. 4. Wisata Rakyat Salah satu bagian yang agak memanfaatkan keadaan adalah gue menggunakannya untuk berwisata. Yak, gue berwisata ke pemandian air panas di Kaki Gunung Selamet, di Jawa Tengah. Perjalanan kesana membutuhkan waktu sekitar 2 jam atau 2,5 jam menggunakan mobil. Namun, jangan bayangkan gue berwisata kesana menggunakan mobil pada umumnya atau mobil pribadi. Gue menggunakan Coak atau pick-up sebagai kendaraan gue dan 19 orang lainnya ke Guci. Ya, gue menaiki mobil tersebut dengan total penumpang beserta yang menyetir kira-kira 22 orang. Amajing bukan? Oya, kenapa wisata rakyat? Ini merupakan salah satu wisata murah meriah yang bisa dilakukan oleh semua kalangan. Oke, balik ke Guci, disana memang tidak ada yang terlalu spesial, seperti pemandian air panas pada umumnya. Namun, yang berkesan adalah perjalanan selama hampir 5 jam pulang pergi kesana diatas Coak. Angin dan sensasi berada diatasnya itu yang tidak terbayarkan. Apalagi saat pulang di daerah kami hujan deras, terpaksa ditutup dengan terpal. Bayangkan di bagian bak belakang ada 19 orang, hujan, jalanan rusak menanjak, naik pick-up. Rasanya? Seperti naik jeep saat off-road tapi dengan 19 orang penumpang. 5. Bermuka Mahal Menurut kakak gue muka saya ini mahal, sama seperti pendapat teman-teman gue. Gigi behel dan berwajah Tionghoa. Itulah saya. Dengan wajah seperti ini, jadilah saya seperti bule yang ada di Bali, yaitu akibatnya diberi harga mahal. Gue menyalahkan gigi berpagar ini. Pertama, gue naik ojek sama teman gue, jarak sama, tetapi harga buat gue berbeda. Teman gue yang mukanya lokal dapat harga 10.000 saja. Gue? Kena 20.000. Tapi karena gue memelas, akhirnya hanyak 14.000. Kedua, saat beli bakso, teman gue sebelumnya yang sudah makan disana, semangkoknya dihargai 5.000. Gue? Kena 7.000. Semoga penelitian berikutnya gigi berpagar ini selesai. Kira-kira itulah 5 kisah utama yang cukup berkesan selama penelitian disana. Mug |
Archives
December 2016
|