Macet. Mungkin itu salah satu kata yang akan teringat saat mendengar kata Jakarta. Gue sendiri mengakui bahwa gue bukan warga Jakarta, domisili gue ada di Tangerang Selatan, tepatnya Bumi Serpong Damai atau BSD. Namun, Jakarta akan selalu menjadi bagian dari hidup gue. Sebenarnya sudah lama gue mau menulis tentang sisi lain dari pengamatan gue pribadi tentang Jakarta. Dari entah tahun kapan gue selalu menjamah Jakarta, sebab satu dan lain hal, banyak tempat menarik (gaul maksudnya) banyak berada di Jakarta. Jadi suka nggak suka gue akan menjajah Jakarta. Kenapa gue sekarang tiba-tiba mau menulis lagi tentang Jakarta? Sekarang ini kebetulan gue sedang melarikan diri dari Jogja, kota di mana menjadi "rumah" kedua gue selama empat tahun belakangan. Melarikan dirinya gue ke BSD ini dalam rangka untuk menyelesaikan beberapa tulisan, kalau gue tetap di Jogja, gue yakin mungkin belum tentu secepat gue kembali ke BSD ini. Jadi, inilah gue, sudah hampir sebulan berada di BSD tercinta.
Oke, kembali lagi ke permasalahan Jakarta. Jujur, dalam hidup gue sangat mudah untuk kagum dan jatuh cinta pada sebuah kota, sebut saja Jogja dan Freiburg. Keduanya adalah kota favorit gue, keduanya kota kecil yang di dalamnya tersedia banyak hal untuk dinikmati. Kota selanjutnya? Jakarta. Bagi beberapa orang mereka akan memilih untuk meninggalkan Jakarta dan mencari tempat yang lebih nyaman serta teratur untuk ditinggali dan hidup. Gue? Gue sementara ini belum kapok dengan kejamnya Jakarta. Gue bisa ngomong kayak gini berdasarkan pengalaman magang pertengahan tahun lalu. Gue magang selama satu bulan di sebuah pusat studi perkotaan yang berada di Sarinah, persis di belakang gedung Bakmi Gajah Mada. Perjalanan yang gue lalui untuk mencapai kantor cukup jauh, tetapi cukup beruntung. Mengapa beruntung? Karena untuk berangkat pagi ke kantor bisa menumpang ibu gue yang kebetulan berkantor di Thamrin, sehingga gue terselamatkan dari hiruk pikuk kereta atau bis di pagi hari. Oke, perjalanan pagi juga tidak semulus yang dikira, macet, jelas. Dan datanglah waktu perang bagi gue, yaitu saat pulang kantor, dengan kesiapan badan, akan menghadapi kerasnya para perempuan di bis transjakarta. Adu bahu dan tubuh terkadang diperlukan agar bisa masuk dan keluar dari bis. Saat gue magang kebetulan bertepatan dengan bulan puasa, sehingga emosi orang-orang agak sedikit mungkin terpendam. Gue juga cukup beruntung sesekali pulang ditemani teman, yaitu Angel, dan kadang kalau beruntung bisa bareng ibu gue. Perjalanan dari Sarinah sampai Gelora Bung Karno cukup mengesankan bagi gue, dari yang awal gue masih bingung dan sampai diteriakin karena salah berdiri, sampai lari-lari ngejar transbsd karena salah turun halte transjakarta. Setelah sampai Gelora Bung Karno perjalanan gue belum berakhir, untuk mencapai BSD gue harus naik transbsd, di mana jamnya pun tergantung dengan kemacetan yang ada pada hari itu. Suatu hari gue pernah terjebak macet cukup lama, gue lagi puasa, belum makan, dan di kursi depan gue ada yang buka bungkusan nasi padang dengan sopannya. Cobaan, cobaan. Lika liku selama magang bukan hanya itu saja, tapi gue mendapatkan kesempatan yang mungkin untuk beberapa orang ini sudah biasa, gue naik motor perdana mengarungi Sarinah sampai Kampus Binus. Kebetulan gue selama magang ada kerjaan untuk observasi di daerah sepanjang Sarinah sampai Kampus Binus (kalau tidak salah). Agar lebih mudah maka gue dan seorang teman naik motor dengan gue sebagai pengendara. Dari pengalaman ini gue merasakan langsung macetnya Jakarta, emosinya, panasanya, dan tentu saja polusinya. Polusi selama berkendara motor berhasil membuat baju putih saja jadi agak abu-abu. Interaksi langsung dengan kemacetan dan melihat orang-orang di jalanan lebih dekat membuat gue semakin jatuh hati dengan Jakarta. Aneh mungkin, tapi gue menikmati segala hal ini. Mungkin juga banyak yang melihat seperti tidak ada kehidupan karena bangun pagi, macet, kantor, pulang malam, macet, dan mengulangi dari awal semuanya. Bagi gue yang baru merasakan sebulan tidak terlalu berat, belum tahu apakah nanti gue akan tetap jatuh cinta dengan Jakarta kalau suatu hari gue bekerja di Jakarta dan merasakan ini selama bertahun-tahun. Jakarta disatu sisi memiliki sisi yang menurut gue kejam, membuat orang terjebak di aktivitas yang sama, tetapi ya kembali ke orangnya gimana melihat kekejaman ini, kan?
0 Comments
|
Archives
December 2016
|