Mari kita menulis umur! Kenapa menulis umur? Bukan ingin pamer atau bagaimana, tetapi sebentar lagi umur gue akan berganti, yah bisa dibilang tinggal menghitung jam saja. Apa rasanya bertambah umur? Senang? Apakah spesial? Atau biasa?
Menurut gue dari tahun ke tahun pertambahan umur adalah hal yang biasa, masing-masing orang pasti memiliki umur yang bagi mereka itu spesial. Walaupun bagi gue pertambahan umur adalah hal biasa, tapi gue mempunyai umur yang menurut gue spesial. Pertama, yang semua orang pasti juga suka (mungkin), yaitu umur 17 tahun. 17 tahun merupakan umur yang spesial buat gue, kenapa? Karena di umur 17 ini gue mendapatkan KTP dan yang paling penting adalah SIM! SIM A adalah SIM favorit gue, karena sejak TK gue sangat terobsesi dengan menyetir mobil dan sampai sekarang gue sangat senang menyetir. Gue akan senang menyetir kemana pun gue disuruh pergi, jadi dapet SIM A adalah berkah terindah buat gue di umur itu. Kedua adalah pertambahan umur yang berubah "kepala". Berubah "kepala" ini contohnya seperti dari umur 9 tahun menjadi 10 tahun. Nah, pertambahan umur yang seperti itu yang menurut gue spesial lagi. Kenapa? Karena umur kita akan berubah yang tadinya "berkepala" 0 menjadi 1. Lalu, yang akan gue hadapi adalah dari 1 menjadi 2. Yap, tahun ini gue akan bertambah umur menjadi 20 tahun, tua? Tenang masih ada yang lebih tua dari gue hahaha. 20 tahun artinya adalah Tuhan udah memberikan kesempatan gue buat hidup selama 20 tahun dan semoga gue bisa merasakan sampai perubahan-perubahan berikutnya. Sejak kecil, gue kadang takut dengan bertambahnya umur. Tambah umur berarti gue bertambah tua, harus tambah dewasa, kewajiban gue juga bertambah, dan masih banyak lagi. Hal terutama yang gue pikirkan adalah bertambah tua, semuanya terasa begitu cepat buat gue, kayaknya baru kemaren deh gue merasakan tambah umur jadi 17 tahun, eh sekarang udah 20 aja, terus udah kuliah aja gue, berikutnya apa? Menurut gue semua terlalu cepat, nggak tau kenapa tapi gue nggak mau semuanya cepat berlalu aja. Tapi sisi sok bijaksana gue emang suka keluar untuk hal yang kayak gini, fungsinya? Fungsinya adalah untuk menenangkan diri gue sendiri, biar gue punya pikiran positif. Sok banget kan gue? Yah, tapi itu cara gue, gue mencoba untuk berpikir kalau semua nggak mau cepat berlalu, gue harus menikmati setiap harinya apapun kondisinya. Kenapa? Kalau nggak percaya reinkarnasi, jawabannya adalah hidup itu cuma sekali, kalau nggak dinikmatin, kapan lagi kan? Jadi di umur (yang akan) 20 ini, gue mencoba menikmatinya, walaupun kata orang udah tua atau apa, dinikmatin aja kan?
0 Comments
Jangan mengharapkan isi dari judul tadi adalah gue tur keliling masjid ataupun isi rencana gue untuk umroh. Kalau kalian berpikir seperti itu, pasti akan menyesal sekali. Oke, jadi sebenernya dari judul diatas tadi gue mau cerita soal liburan gue bulan Juni-Juli kemarin ini. Sebelumnya gue udah menampilkan kan foto monas, nah itu hasil dari perjalanan gue ini. Jadi kalau bisa digambarkan, cerita yang bakal gue sajikan adalah salah satu pengalaman yang cukup berkesan bagi gue sendiri. Sebagai pengantar, gue melakukan perjalanan ini bersama teman sok-bule gue (padahal mukanya emang bule), yaitu Mara. Dia adalah partner jalan-jalan keliling museum kalau liburan datang. Nah, udah jelas kan kalau pengalaman gue ini tentang perjalanan gue keliling museum, tapi berakhir berbeda. Penasaran? Mari gue ceritakan. Awalnya, gue di masa liburan kemarin benar-benar mati gaya, dalam artian gue bingung mau ngapain. Jadilah gue membeli majalah-majalah national geographic traveler yang lama dan alhamdulillah sekali gue menemukan ilham! Jadi di salah satu edisi yang gue beli, mereka membahas mengenai museum-museum yang mereka rekomendasikan untuk di datangi, salah satunya berada di Jakarta. Mulailah ada ide untuk jalan-jalan keliling museum daaann jelas sekali kalau teman-bermuka-bule ini mau banget ikut. Kemudian, kita merancang tempat-tempat yang akan kita kunjungi, gue agak lupa apa aja, tapi yang pasti cukup banyak tempat yang mau dikunjungi. Melalui kemampuan seadanya gue mengenai daerah Jakarta (baca: buta Jakarta), gue hanya bisa berharap sama Mara mengenai rute dan lainnya. Dengan bermodal mobil merah punya Mara, berangkatlah kita ke tujuan pertama, yaitu Taman Makam Prasasti di Tanah Abang. Di Taman Makan Prasasti ini nggak terlalu banyak hal yang bisa dilakukan selain melihat-lihat dan foto-foto. Mengapa? Karena di dalamnya cuma ada batu nisan dan patung, tapi gue sangat merekomendasikan untuk mengunjungi tempat ini, soalnya bagus! Oke setelah selesai, lanjutlah dengan tujuan berikutnya, yaitu Monas. Ini adalah kali pertama gue ke Monas sampai ke puncaknya, sebelumnya gue cuma di pelatarannya aja foto-foto. Jadi, cerdasnya gue dan Mara, kita sampai di Monas jam 12.00 WIB, di mana kondisi matahari sedang aktifnya dan kita berdua dalam keadaan (alhamdulillah) puasa. Bisa terlihat cerdasnya kami? Belum berhenti disitu, ternyata iman kita diuji, kita berdua nggak bisa menemukan pintu masuk ke dalam Monas, alhasil kita terpaksa mengitari Monas bersama panasnya matahari. Akhirnya kita menemukan pintu masuk dan masuk lah kami ke dalam Monas. Di dalamnya, Monas nggak seperti bayangan gue, megah atau bagaimana itu, cenderung lebih biasa, mungkin malah cenderung kosong. Kemudian kita langsung beli tiket lagi untuk naik ke puncak Monas. Ini dia bagian paling menegangkan bagi gue. Gue memiliki ketakutan akan ketinggian. Lift Monas adalah mimpi buruk bagi gue karena liftnya udah tua dan goyang-goyang sampai atas. Lebih buruk lagi gue sakit perut dan satu lift sama orang Batak yang banyak nanya, salah satunya, "wah asik kali ini kalau liftnya jatuh, langsung suuuuurrr turun ke bawah." Gue yang mendengarnya cuma bisa keringet dingin dan rasanya mau cepet sampe di tanah lagi. Disamping ketakutan gue itu, gue mengakui bahwa pemandangannya cukup bagus dari atas Monas, salah satunya ini, Perjalanan selanjutnya? Masjid Istiqlal! Kaget bukan? Yak, ini sebenarnya permintaan dari teman gue karena masjid yang satu ini cukup megah dan besar, selain itu dia belum pernah masuk ke dalam sana. Tanpa persiapan yang memadai, dalam artian kita tidak memakai pakaian pantas untuk masuk ke dalam masjid, jadilah ide kotor gue untuk memanfaatkan teman sendiri. Jadi gue memanfaatkan muka bule teman gue dan menjadikannya alasan ke penjaga masjid kalau gue mau mengantar turis melihat-lihat masjid. Cerdas bukan gue? Haha. Gue ngelakuin ini karena banyak bule datang dan masuk ke masjid dengan pakaian mereka yang seadanya tanpa ada larangan. Jadilah teman gue mengaku kalau dia dari Australia dan saat keluar masjid, penjaga masjidnya ternyata bisa bahasa inggris, jeng jeng....... Gue dengan jahatnya malah meninggalkan teman gue sama si penjaga masjid. Berakhirlah perjalanan gue di masjid. Selanjutnya? Museum Bahari dan Menara Syahbandar. Letak Museum Bahari dan Menara Syahbandar nggak terlalu jauh, mereka berada di satu lokasi, yaitu di dekat pasar ikan, Pelabuhan Sunda Kelapa. Jam saat itu sudah menunjukan pukul 15.00, di mana itu waktu untuk beberapa museum tutup. Sesampainya di Museum Bahari kita terpaksa meminta penjaga museum supaya kita bisa masuk. Akhirnya kita masuk ke dalam. Hal yang gue ingat selain arsitektur gedung yang sangat bagus, kapal-kapal yang bagus banget, adalah suasana yang cukup seram. Bukan apa-apa, soalnya pas gue sampe sana udah sore dan cukup gelap di dalamnya, ditambah lagi ini gedung lama peninggalan Belanda, lengkaplah suasanya seramnya. Tapi disamping semua itu, gue lagi-lagi merekomendasikan kalian untuk datang! Oya ini foto di dalam museum bahari, Setelah dari Museum Bahari, gue dan teman gue melanjutkan perjalanan ke Menara Syahbandar. Nah, disini teman gue si Mara, menggunakan tipu dayanya. Jadi, pas kita datang, menaranya itu udah tutup tapi untungnya penjaga menaranya masih ada, jadilah kita mulai melobi si bapak penjaga. Dengan kemampuan Mara, dia mulai mengarang cerita kalau kita mahasiswa dari Bandung yang lagi jalan-jalan (padahal dia doang yang mahasiswa dari Bandung) dan hebatnya dia lagi, dia mengobrol singkat dengan si bapak penjaga yang kebetulan juga dari Bandung, jodoh memang. Beruntunglah kita akhirnya bisa masuk dan naik ke menara. Ini pemandangan dari atas menara, sejauh mata memandang sampah aja.... Setelah dari Menara Syahbandar, gue merasa cukup capek dan mau pulang, tapi nggak begitu dengan si Mara. Tapi ini jalan-jalan liburan, kapan lagi kan ya? Dengan semangat yang kembali membara, kita menuju lokasi berikutnya, yaitu salah satu Vihara tertua di Jakarta yang berada di Petak Sembilan, Tanah Abang. Gue lupa nama viharanya apa, tapi kalau ke Petak Sembilan, pasti orang-orang sekitar tahu. Ini pertama kalinya gue masuk vihara dan gue sangat terkesan dengan isi di dalamnya. Hal utama yang menarik perhatian gue adalah pojok-pojok ruangan yang berisi patung dari dewa-dewi kepercayaan mereka, bagaimana mereka berdoa kepada dewa-dewinya, ada yang berdoa sesuai dengan kebutuhannya, ada yang berdoa kepada semua dewa-dewi. Kemudian gue memasuki bangunan lain di kawasan vihara ini, disana gue mencoba untuk meramal dengan cara mereka. Gue agak lupa dengan nama dewanya, jadi pertama gue harus menyebutkan kalau tidak salah tanggal, hari, dan nama, lalu permohonan gue, selanjutnya gue diminta melemparkan dua bua kayu yang berwarna di depan dan belakangnya kuning serta merah. Kalau setelah dilempar kayu dua-duanya berwarna merah, artinya sang dewa merasa marah dengan permintaan kita, kalau merah dan kuning, artinya sang dewa menganggap permintaan kita bercanda, lalu kalau kuning dan kuning maka sang dewa itu senang dengan permintaan kita. Kita setelah itu harus mengulangi proses lempar kayu itu lagi dan baru mengocok sumpit-sumpit yang berisi nomor-nomor isi ramalan. Jujur, gue sangat berkesan mengunjungi vihara ini, sepertinya gue tertarik untuk mengunjungi vihara lainnya karena banyak keunikan yang ada di dalamnya. Oya, ini foto viharanya tampak depan, Hari petualangan gue ditutup dengan pergi ke Gereja Kathedral. Sudah mulai mengerti kan kenapa gue bilang ini jadi tur religi, karena gue mengunjungi masjid-vihara-gereja. Gue yang seumur hidup cuma pernah masuk gereja Kristen di kampung pas SD dan selama SMP-SMA di Gereja Santa Monika BSD, masuk Gereja Kathedral itu membuat gue ternganga karena bagus banget. Selain itu ada aura lain yang membuat gue cukup betah berada disana. Perjalanan ke tiga tempat ibadah ini menjadi refleksi tersendiri bagi gue dan ini merupakan tugas besar yang harus gue selesaikan. Jadi, bagi kalian yang beranggapan kalau ke Jakarta cuma ke mall aja, salah besar! Banyak museum dan tempat sejarah yang bisa kalian kunjungi, asal pintar-pintar mencari informasi tempat mana aja yang bagus. Ayo kita ke Jakarta!
|
Archives
December 2016
|