Seperti layaknya tagar yang sering digunakan oleh banyak orang di Instagram, tulisan kali ini benar-benar seperti judul diatas, yaitu menceritakan pengalaman saya yang belum selesai dituliskan. Jadi, tepat satu tahun yang lalu di bulan ini saya cukup beruntung bisa "naik haji" ke negara pecinta Korea. Sebelumnya saya sudah sedikit banyak menuliskan tentang Busan, entah karena saya yang malas atau sok sibuk jadi lupa menuliskan perjalanan ke lokasi-lokasi berikutnya. Pada kelanjutan petualangan saya di Korea, di Gwangju akhirnya saya bertemu kakak saya, Dina, dan kami memulai perjalanan di negeri kimchi ini. #GWANGJU Perjalanan berikutnya setelah Busan adalah Gwangju! Perjalanan menuju Gwangju diawali dengan drama saya telat bangun dan dihadapkan kenyataan bahwa terminal bis cukup jauh dari tempat saya menginap, jadilah saya saat di terminal bis berlari-lari membawa koper yang terjatuh-jatuh. Namun, akhirnya saya berhasil mengejar bis menuju Gwangju. Selama perjalanan saya disajikan dengan pemandangan pergantian musim, dari musim gugur ke musim dingin, jadi saya menikmati pemandangan pohon-pohon dengan daun berwarna oranye jatuh berguguran. Pemandangan yang cukup indah selama 3 jam menemani sampai ke Gwangju. Sesampainya di Gwangju saya keluar terminal dan mencari taksi untuk menuju Pedro's House. Oya, Pedro's House itu adalah guest house yang akan saya tempati selama tiga hari dua malam. Saat menemukan taksi, bapak taksinya sangat baik dan ramah, saking ramahnya dia mengajak saya ngobrol sepanjang jalan dengan bersikeras saya adalah orang yang berasal dari Tiongkok, walaupun saya sudah bilang saya dari Indonesia. Tapi yasudahlah, yang terpenting adalah si bapak berhasil membawa saya ke Pedro's House dengan selamat. Seperti yang terlihat Pedro's House terletak tepat di perumahan, jadi pemandangan yang baru bagi saya, karena sebelumnya penginapan di Busan tepat berada di lokasi wisata. Di Pedro's House saya tinggal di lantai dua, sebab di lantai pertama adalah tempat tinggal Pedro. Ah, Pedro itu adalah orang Korea, bisa dilihat di foto, tetapi dia mempunyai nama lain dalam Bahasa Inggris, hal ini umum dilakukan orang Korea, ungkap Pedro. Pedro's House sangat berkesan bagi saya, ini pengalaman pertama saya menginap di tempat yang tidak individualis seperti hotel. Akibatnya? Saya menjadi mengenal beberapa orang yang tinggal di Gwangju, karena pada malam saat saya sampai, mereka mengadakan acara makan-makan untuk meresmikan Pedro's House. Jadilah saya bergabung dengan acara mereka. Mendapatkan makanan gratis adalah keuntungan utama, jadi saya tidak perlu mengeluarkan uang untuk makan malam. Walaupun sebagian besar dari mereka tidak bisa berbahasa Inggris, mereka tetap berusaha berkomunikasi dengan saya dan beberapa tamu lainnya disana. Usaha itu berakhir dengan saya berteman di Facebook. Bagi yang ingin menetap di Gwangju saya akan sangat menyarankan untuk menetap di Pedro's House. Hari berikutnya saya akhirnya dipertemukan dengan kakak saya Dina, setelah empat hari berkelana sendirian. Hari itu Dina sampai dengan seorang temannya, seorang dosen di universitas di Gwangju. Keberuntungan berikutnya datang kepada saya, yaitu makan gratis bersama orang lokal lainnya ke restoran lokal! Restoran ini tidak terlalu besar dan berlokasi bukan di daerah yang ramai, jadilah saya dan Dina orang asing satu-satunya di dalam restoran itu. Makanan yang disajikan sangatlah khas Korea, makanan pendamping untuk dimakan dengan nasi (banchan) dan menu utamanya adalah bulgogi. Sepertinya pemilik restoran ini sangat senang dengan kehadiran saya dan Dina, terutama dengan wajah Dina yang "eksotis" di Korea dibandingkan dengan saya yang pasaran, jadi kami diberikan makanan tambahan. Setelah makan saya kami kemudian diturunkan di pusat kota Gwangju oleh teman Dina. Akhirnya kami berjalan keliling pusat kota dan berhenti di satu tempat minum kopi "Paul Frank". Seperti biasa saya hanya memesan americano dan menariknya mereka menyajikan kopi dengan buah. Setelah minum kopi dan makan buah kami melanjutkan jalan-jalan di sekitar pusat kota Gwangju, yaitu ACC atau Asian Culture Complex. Kalau dilihat foto diatas itu adalah gedung-gedung yang dipagari. Jadi dahulu di lokasi itu sempat ada peristiwa yang terkenal pada Mei 18, terjadi demo besar-besaran (silahkan lihat di wikipedia untuk detilnya). Di lokasi itu di bagian bawahnya akan dibangun sebuah pusat kebudayaan, yang diharapkan akan menjadi pusat penghubung dengan negara-negara lain. Tujuan berikutnya kami berjalan kaki ke area perbelanjaan Gwangju, keberuntungan berikutnya datang, yaitu Black Friday! Artinya yang lebih jelas adalah DISKON! Jadilah kami #thesisterinkorea kalap melihat masker yang diskon besar besaran, karena kalau beli di Indonesia kita bisa dapat empat di Korea dengan harga yang sama. Akhirnya kami berakhir memborong banyak masker untuk perawatan kulit yang jauh dari indah ini. Setelah kalap dengan diskon di malam itu dan berjalan-jalan di pusat perbelanjaan Gwangju, akhirnya kami pulang. #SEOUL
Akhirnya saya tiba di kota tujuan utama para turis. Perjalanan kereta tidak begitu lama, sekitar 3 jam untuk sampai ke Seoul dari Gwangju. Selama di kereta sebenarnya mereka punya gerbong khusus menjual makanan, tapi entah kenapa saya dan Dina tidak pergi kesana, mungkin kami berpikir akan makan setelah sampai ke hostel nantinya. Saat sampai di Seoul kami kemudian menggunakan kereta bawah tanah untuk menuju hostel kami yang berada di Myeongdong. Hostel kami ini bernama Crib49. Secara keseluruhan saya senang dengan hostel ini karena mudah di akses dan dekat dengan pusat wisata. Namun, satu saran saya kalau menuju ke hostel ini menggunakan kereta bawah tanah, jangan bawa koper besar. Jangan. Kalau dilihat di gambar yang saya berikan, ada seperti tanjakan yang kelihatannya biasa saja, tapi saat membawa koper besar dan berat, tanjakan itu seperti kelok 44 di Sumatera Barat. Semua dikarenakan koper Dina yang besar dan berat, jadi kami sempat mengambil waktu untuk istirahat di tengah perjalanan menuju hostel. Bagi yang tertarik menginap di Crib49, baiknya naik taksi melalui Namsan, khusus bagi mereka yang bawa koper besar. Hari itu kami tidak punya rencana pribadi, tetapi kami sudah mempunyai janji dengan teman Dina yang tinggal di Seoul. Dia mengajak kami untuk pergi ke Jimjilbang atau pemandian air panas serta sauna. Inilah pengalaman paling berkesan saya dimulai. Seoul memang jauh lebih dingin dari Gwangju dan Busan (menurut pengalaman saya), jadi saya membayangkan akan enak kalau mandi air panas dan sauna. Siapa sangka ternyata mandi air panas artinya mandi massal. Massal. Artinya dengan banyak orang tanpa baju, mandi dalam satu ruangan besar. Awalnya saya sangat canggung, terakhir kali mandi massal itu saat SD. Ya, maklum aja. Namun, mengutip perkataan teman kakak saya, "ini adalah tempat di mana kita bisa jadi diri kita tanpa peduli orang lain, karena tujuan kita sama, mandi!". Jadi saya mencoba untuk santai. Dan saya kecanduan untuk pergi ke Jimjilbang! Sumpah semua air panasnya membuat kita jadi rileks dan pada akhirnya saya lupa kalau saya berada di ruangan orang mandi massal. Wajib dicoba kalau ke Korea! Oya, Jimjilbang saya kunjungi ini menurut teman Dina adalah tempat favorit di Seoul, jadi silahkan dicoba. Setelah menikmati mandi dan sauna, karena hari itu saya berulang tahun, teman Dina mau mentraktir salah satu restoran sashimi yang menjadi favoritnya di Itaewon. Yak, Itaewon daerah yang terkenal dengan klub malamnya dan segala restoran dari berbagai negara, saya masuk ke dalam gang kecil yang jauh dari keramaian Itaewon. Malam itu saya dan yang lainnya menikmati sashimi ikan, gurita, dan sup ikan pedas. Tentu saja, saya tidak lepas diajari tata cara minum alkohol cara Korea dan diberikan teori cara membuat So-Maek (Soju-Maekju) yang benar, oya, Maekju itu adalah Bir. Walaupun tempatnya tidak terlalu luas dan terletak di gang kecil, tapi makanannya sangat enak! Cocok dengan cuaca dingin di malam itu. Kursus membuat So-Maek membuat kepala saya agak sedikit melayang dan rasanya ingin pulang. Tapi teman Dina bersikeras diminta mengunjungi rumah mereka masih di daerah Itaewon. Saat sampai di rumahnya, ternyata dia tergeletak di meja karena kepalanya lebih melayang dari saya. Akhirnya saya dan Dina memutuskan pulang. Temannya Dina yang masih sadar mencoba memesan taksi, tapi malam itu adalah hari Sabtu, jadi jalanan Itaewon macet dan banyak taksi yang menolak. Jadilah dia mengusulkan kami untuk jalan, yang katanya tidak terlalu jauh. Tapi kenyataannya, jam 02.30 pagi dan saya sampai ke hostel hampir jam 04.00, menyusuri pinggiran hutan Namsan dari Itaewon ke Myeongdong. Dari kepala yang melayang, ingin pipis, sampai bertemu iklan #thesister asli Korea, yaitu Jessica-Krystal, akhirnya kami punya kekuatan berjalan sampai hostel. Karena petualangan yang tak berujung di malam sebelumnya, kami bangun terlalu siang, jadi kami langsung pergi ke Hongdae, lokasi yang terkenal dengan musisi jalanannya, dan tempat belanja! Sesampainya di Hongdae jelas kami belanja, apalagi yang bisa dilakukan saat melihat tulisan diskon. Saat sudah bosan dengan belanja kami memutuskan minum kopi di salah satu kafe dan lagi-lagi saya kagum dengan kopi di Korea, sejauh ini sesuai dengan rasa yang saya suka, terlebih lagi adalah makanan pendamping saat minum kopi mereka super enak! Salah satunya ada di gambar diatas, yaitu roti panggang yang tebal itu. Super! Setelah perut terisi kopi dan roti kami melanjutkan petualangan belanja sampai malam hari. Dan setelah lelah, kami pulang ke hostel dan tidak lupa mencoba kombinasi makanan yang populer dari drama si alien yang datang ke bumi, yaitu Chi-Maek. Memang makanan asin itu cocok untuk bir, jadi ya apa mau dikata pasti enak. Esok harinya, hari terakhir di Korea, kami disambut dengan salju, walaupun tidak banyak, saya cukup senang bisa bersentuhan dengan salju. Hari terakhir ini, kami sebagai orang Indonesia memiliki banyak "titipan" yang harus dipenuhi, jadilah kami berkeliling mencarinya. Sebelum keliling kami pergi ke Myeongdong, tempat wisata yang ramai pertokoan, jadi kami jelas tidak punya ekspektasi rasa makanan disana. Myeongdong sendiri memang ramai wisatawan, karena banyak toko-toko, mulai dari kosmetik sampai pakaian. Setelah makan, kami memutuskan untuk jalan ke Dongdaemun Plaza. Disana kami berjalan mengelilingi pasar tradisional dan melihat gedung ikonik DDP. Di DDP terjadi pengalaman aneh, yaitu bertemu EXO. Ya, grup laki-laki yang digandrungi banyak perempuan, mereka lewat di depan hidung saya. Saya sempat bingung saat mereka lewat dan baru sadar setelah pergi agak menjauh. Ternyata mereka EXO, setelah dikonfirmasi dengan teriakan orang-orang disekitar yang melihat mereka. Aneh, tapi senang karena bertemu Chanyeol di depan hidung sendiri. Setelah pengalaman aneh, kami pergi minum kopi, setelah kami masuk kafe, diluar tiba-tiba badai salju, untung kami sempat menyelematkan diri. Anehnya, pengalaman aneh tidak berhenti disana, di kafe kami berada, Dina terlihat bingung. Dia bilang sepertinya tadi dia bertemu G-Dragon, ya G-Dragon (GD). Dia sempat bingung, karena orang di sebelahnya pakai masker, datang bersama laki-laki yang sepertinya adalah manajernya, dan yang penting adalah dia pakai anting khas GD, anting salib menggantung. Kami begitu semangatnya sampai mencoba cek ke lantai dua untuk membuktikan benar atau tidak. Pada akhirnya pemandangannya tidak terlalu jelas, jadi kami menyimpulkan itu benar GD, kalau tidak benar kami juga tetap senang dengan pengalaman ini. Tujuan berikutnya adalah Gangnam. Secara khusus kami datang kesana untuk mendatangi satu toko yang menjual kosmetik yang biasa dijual oleh Wishtrend (online shopping kosmetik Korea). Karena kami pelanggan setia Wishtrend jadi kami kesana untuk mencari barang-barangnya. Gangnam sendiri bagi saya terasa seperti SCBD, gedung perkantoran, perbelanjaan, dan terasa memang daerah mahal. Menariknya, disana kami menemukan satu toko yang hanya menjual kaos kaki dengan segala motifnya. Yang lebih penting lagi harganya murah. Jadi ada hikmahnya pergi ke Gangnam. Setelah pergi ke Gangnam kami berpindah ke Insadong, daerah dengan bangunan tradisional, tapi kami sampai sana sudah cukup sore dan hari itu Seoul sangatlah dingin ditambah angin kencang. Jadilah kami setelah mendapatkan titipan yang dicari, kami berlindung dari angin dingin ini ke sebuah kafe. Kami menunggu di kafe itu sampai waktunya tiba makan malam di rumah teman lainnya Dina. Saat makan malam, kami membawakan hadiah untuk tuan rumahnya yaitu tisu toilet, benda ini berarti kami mengharapkan keberuntungan datang kepadanya di rumahnya ini. Malam terakhir kami resmi berakhir dengan makanan Korea buatan rumah dan kemudian kami memutuskan untuk berjalan kaki dari Namsan Tower menuju hostel kami untuk menikmati pemandangan, tapi juga sekalian mampir ke mini market. Besoknya kami pergi pagi menggunakan mobil yang ternyata mobil sewaan dan harganya mahal.... Tapi yasudahlah, akhirnya kami bisa sampai tepat waktu di bandara. Terakhir, keanehan kami berlanjut, kami bertemu SISTAR di bandara dengan jarak di depan hidung kami. Satu kesannya, ternyata mereka pendek ya, dan Dasom memang aslinya cantik (enggak penting). Ternyata banyak artis di bandara hari itu, karena mereka akan pergi ke penghargaan MAMA. Bertemunya dengan SISTAR menjadi penutup petualangan saya dan Dina di Korea. Pengalaman yang sangat berkesan, karena ini pertama kalinya saya jalan-jalan sendirian di luar negeri, walaupun sebentar lalu bertemu Dina, tapi ini benar-benar pengalaman yang mengasyikkan. Mungkin saya tidak mengunjungi lokasi turis biasa datangi di Korea, tapi seru rasanya bisa merasakan datang ke tempat yang biasa didatangi orang lokal. Mungkin harus sedikit menyukai Korea untuk datang ke negaranya, tapi kalau tidak suka pun makanan disana enak-enak dan banyak tempat yang bisa didatangi tanpa harus suka K-pop. Dan sudah jelas saya akan kembali ke Korea di tahun-tahun berikutnya!
0 Comments
Awal 2010 bulan Agustus adalah awal di mana saya mengenal antropologi UGM. Saat itu mahasiswa baru diperkenalkan dengan banyak elemen yang melengkapi jurusan antropologi dan salah satunya adalah "Kandhang". Kandhang adalah tempat utama dari jurusan antropologi, pada saat itu, Kandhang adalah perpustakaan dan ruang dosen berada. Masih ingat pada saat itu perpustakaan sangat kecil, sehingga semua orang terpaksa untuk menjadi lebih dekat. Disamping perpustakaan terdapat ruang-ruang dosen. Jelas, saya masih ingat di mana itu adalah ruangan paling menegangkan, sebab disana terletak ruang dosen pembimbing akademik, yaitu Alm. Hari Poerwanto. Rasa menegangkan lain yang terpancar dari Kandhang adalah ruang di depan perpustakaan dan ruang dosen, yaitu kursi-kursi dan meja yang terbuat dari keramik serta semen. Itulah lokasi menegangkan lainnya, sebab banyak senior berkumpul disana. Maklum, mahasiswa baru, melihat senior rasanya melihat polisi di jalanan saat musim razia tiba. Melalui pengalaman yang saya rasakan, kalau kita berhasil duduk dan bergabung dengan manis di lokasi kursi-kursi tersebut, artinya kita hebat. Butuh proses yang bertahap sampai pada akhirnya saya bisa duduk dengan perasaan tenang tanpa harus merasa gelisah seperti perasaan menunggu Mbak Penjual Roti yang biasa datang ke FIB di sore hari. Agaknya saya kurang ingat apakah saya aktif berada di Kandhang atau tidak selama masa awal kuliah saya. Jika ingatan saya tidak salah, saya merasakan kesenangan saat dapat nongkrong di Kandhang sampai malam hari. Namanya juga baru lulus SMA dari sekolah Katolik dengan peraturan ketat, rasanya masuk kuliah bisa nongkrong sampai malam itu seperti dapat makanan seminar dari dosen, senang. Bonus nongkrong di Kandhang adalah dapat menjalin silahturahmi dengan para senior, yang akhirnya mencapai fase nongkrong di luar. Pastinya sampai pagi. Semuanya bermula dari Kandhang. Saat awal kuliah dan tergabung sebagai anggota KEMANT (Keluarga Mahasiswa Antropologi), saya juga merasakan manis getir Kandhang. Manisnya Kandhang hadir disaat mahasiswa jurusan lain mengantuk diantara jadwal perkuliahan, mereka tertidur di kursi-kursi kampus atau mungkin cari tempat lain, sedangkan saya serta teman-teman punya Kandhang. Manis lainnya adalah saya bisa berkreasi dengan ruang yang ada di Kandhang. Masih ingat masa di mana saya dan teman-teman divisi publikasi membuat majalah dinding "Pewarta", yang akhirnya tidak aktif dan digunakan sebagai papan pengumuman. Getirnya adalah saat melihat Kandhang berantakan setelah acara-acara selesai. Sisanya cukup banyak manis yang dirasakan saat awal bertemu Kandhang. Tengah Memasuki masa "tengah", saya secara "kecelakaan" yang selalu mengesankan jika diingat, saya dicalonkan menjadi ketua KEMANT, dan akhirnya terpilih. Inilah masa di mana hubungan saya dan Kandhang semakin intens. Saat di awal saya bilang mengenai kondisi Kandhang yang berantakan setelah acara-acara selesai. Kondisi ini semakin intens saya rasakan. Gambar diatas adalah satu masa intens saya bersama Kandhang yang akan selalu saya ingat. Kondisi Kandhang yang sering berantakan membuat saya ingin menatanya, bisa dibilang saya lebih rajin membersihkan Kandhang (pada waktu itu), dibandingkan membereskan kamar saya pribadi. Saat itu keadaan Kandhang sangatlah unik, kita menemukan kotoran kucing yang baunya luar biasa, ada makanan basi, dan KEMANT memiliki ruangan sendiri yang sangat luas. Akhirnya proses membersihkannya pun dimulai dari pagi hari sampai malam dan berakhir dengan rupa seperti gambar diatas. Galon lengkap dengan aneka minuman disampingnya (hasil peninggalan), meja komputer, papan kerja, lemari obat, lemari dokumen, dan karpet bersih untuk tidur dengan manis. Semua adalah hasil kerja bersama teman-teman. Saya rasa mereka lelah selama masa kepemimpinan saya, isinya hanya rapat dan bersih-bersih Kandhang. Walaupun kondisi Kandhang yang seperti gambar diatas itu tidak bertahan lama, saya tetap senang dengan segala prosesnya. Masa tengah bukan berarti masa tegang di Kandhang berlalu. Kandhang akan selalu menjadi saksi persiapan inisiasi, kegiatan tahunan yang dilakukan mahasiswa antropologi. Salah satu hal yang akan membuat Kandhang menjadi saksi adalah momen perjumpaan panitia dengan senior untuk presentasi. Momen menegangkan, di mana panitia dan senior duduk saling berseberangan seakan masing-masing dari tiap pihak akan berteriak "spartan" lalu saling menyerang. Tenang ini hanya imajinasi saya, tidak ada baku hantam fisik, hanya kata. Lagi-lagi Kandhang menjadi saksi setiap peristiwa ini terjadi. Akhir
Masa-masa akhir perkuliahan saya memang bisa dibilang hubungan saya dengan Kandhang merenggang. Skripsi adalah alasan utamanya, saya akan lebih konsentrasi jika mengerjakan di rumah. Itu alasannya saat masa skripsi saya bisa tidak keluar rumah hampir dua minggu. Walaupun demikian tetap saja skripsi saya selesai dalam waktu satu tahun. Bulan-bulan skripsi, Kandhang selalu menjadi tempat nyaman untuk diskusi bersama teman, tetap dalam permasalahan rumit skripsi. Kandhang menjadi tempat untuk reuni saat masa skripsi berlangsung. Sering kali kita kaget dan senang melihat teman yang jarang kita temui karena terasingkan bersama skripsi. Lebih akhir lagi, tampilan foto-foto diatas adalah pemandangan yang saya dapatkan dari Kandhang. Kandhang akan segera pindah atau lebih tepatnya dihilangkan untuk sesuatu yang nantinya (semoga) lebih baik. Kardus-kardus, rak buku kosong, tetapi masih banyak orang yang duduk di dalam menulis. Pemandangan yang sepi, jika dibandingkan dengan masa awal saya bersentuhan dengan Kandhang. Itulah pemandangan terakhir yang saya dapat. Awal-Tengah-Akhir Rasanya setiap masa ingin saya ceritakan lebih banyak lagi mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi. Namun, rasanya tidak lengkap berbicara Kandhang tanpa menyebutkan Mas Sarwo. Sosok penting yang selalu menghidupkan Kandhang. Mas Sarwo itu penolong yang sabar saat awal kuliah sampai bisa memakai toga. Kalau komputer Kandhang rusak dan sulit mencari buku, sebut judul atau isi buku, Mas Sarwo tahu keberadaannya. Saat situasi Kandhang sepi, Mas Sarwo jawabannya untuk membuat kita tetap terhibur dengan segala ceritanya. Dan berbicara mengenai cerita, Mas Sarwo adalah sumber segala cerita dari segala topik dunia antropologi dan FIB. Mulai dari gosip sampai pengalamannya melihat pengejaran mahasiswa dan aparat yang dahulu pernah terjadi. Sangat cepat dan akurat! Cerita mengenai Mas Sarwo rasanya tidak akan bisa berhenti, sama halnya saat berbicara mengenai Kandhang. Saat ini dan masa depan Kondisi Kandhang saat ini sudah rata dengan tanah. Hanya puing-puing bangunan yang tersisa. Perpustakaan telah berpindah sementara ke Gedung Margono. Ruang dosen-dosen pun juga telah lama berpindah ke Gedung Margono. "Sorkle" juga telah lama diratakan dengan tanah dan digantikan dengan bangku-bangku besi hitam. Ajakan "ayo ngandhang" mungkin akan terdengar janggal, sebab bangunan fisiknya telah hilang. Saya mungkin bukanlah orang yang selalu setiap saat berada di Kandhang. Namun, secara pribadi saya merasa setiap orang berhak mempunyai memori masing-masing terhadap Kandhang, baik maupun buruk. Ikatan tiap individu pun akan berbeda terhadap Kandhang, ada yang sedih dan menyesali, tetapi ada juga yang menerimanya, atau mungkin ada yang tidak peduli, tidak ada yang tahu. Bagi saya, saya hanya bisa mengenang Kandhang dalam ingatan, karena fisik saya tidak berada disana. Tulisan ini salah satu wujud saya dalam mengenang keberadaan Kandhang. Bagi yang masih aktif di perkuliahan atau masih sering berada di lingkungan Kandhang, mengenang Kandhang dilakukan berkumpul dan berkegiatan bersama. Fisik Kandhang memang sudah tidak ada lagi dan saat ini mungkin muncul bagaimana tetap bisa menghidupkan Kandhang tanpa fisik yang pasti. Jika Kandhang adalah manusia, ia pasti sosok anak populer yang mempunyai banyak teman dan mempunyai banyak penggemar. Kalau begitu, senang berteman dengan Anda, Kandhang! |
Archives
December 2016
|