Awal 2010 bulan Agustus adalah awal di mana saya mengenal antropologi UGM. Saat itu mahasiswa baru diperkenalkan dengan banyak elemen yang melengkapi jurusan antropologi dan salah satunya adalah "Kandhang". Kandhang adalah tempat utama dari jurusan antropologi, pada saat itu, Kandhang adalah perpustakaan dan ruang dosen berada. Masih ingat pada saat itu perpustakaan sangat kecil, sehingga semua orang terpaksa untuk menjadi lebih dekat. Disamping perpustakaan terdapat ruang-ruang dosen. Jelas, saya masih ingat di mana itu adalah ruangan paling menegangkan, sebab disana terletak ruang dosen pembimbing akademik, yaitu Alm. Hari Poerwanto. Rasa menegangkan lain yang terpancar dari Kandhang adalah ruang di depan perpustakaan dan ruang dosen, yaitu kursi-kursi dan meja yang terbuat dari keramik serta semen. Itulah lokasi menegangkan lainnya, sebab banyak senior berkumpul disana. Maklum, mahasiswa baru, melihat senior rasanya melihat polisi di jalanan saat musim razia tiba. Melalui pengalaman yang saya rasakan, kalau kita berhasil duduk dan bergabung dengan manis di lokasi kursi-kursi tersebut, artinya kita hebat. Butuh proses yang bertahap sampai pada akhirnya saya bisa duduk dengan perasaan tenang tanpa harus merasa gelisah seperti perasaan menunggu Mbak Penjual Roti yang biasa datang ke FIB di sore hari. Agaknya saya kurang ingat apakah saya aktif berada di Kandhang atau tidak selama masa awal kuliah saya. Jika ingatan saya tidak salah, saya merasakan kesenangan saat dapat nongkrong di Kandhang sampai malam hari. Namanya juga baru lulus SMA dari sekolah Katolik dengan peraturan ketat, rasanya masuk kuliah bisa nongkrong sampai malam itu seperti dapat makanan seminar dari dosen, senang. Bonus nongkrong di Kandhang adalah dapat menjalin silahturahmi dengan para senior, yang akhirnya mencapai fase nongkrong di luar. Pastinya sampai pagi. Semuanya bermula dari Kandhang. Saat awal kuliah dan tergabung sebagai anggota KEMANT (Keluarga Mahasiswa Antropologi), saya juga merasakan manis getir Kandhang. Manisnya Kandhang hadir disaat mahasiswa jurusan lain mengantuk diantara jadwal perkuliahan, mereka tertidur di kursi-kursi kampus atau mungkin cari tempat lain, sedangkan saya serta teman-teman punya Kandhang. Manis lainnya adalah saya bisa berkreasi dengan ruang yang ada di Kandhang. Masih ingat masa di mana saya dan teman-teman divisi publikasi membuat majalah dinding "Pewarta", yang akhirnya tidak aktif dan digunakan sebagai papan pengumuman. Getirnya adalah saat melihat Kandhang berantakan setelah acara-acara selesai. Sisanya cukup banyak manis yang dirasakan saat awal bertemu Kandhang. Tengah Memasuki masa "tengah", saya secara "kecelakaan" yang selalu mengesankan jika diingat, saya dicalonkan menjadi ketua KEMANT, dan akhirnya terpilih. Inilah masa di mana hubungan saya dan Kandhang semakin intens. Saat di awal saya bilang mengenai kondisi Kandhang yang berantakan setelah acara-acara selesai. Kondisi ini semakin intens saya rasakan. Gambar diatas adalah satu masa intens saya bersama Kandhang yang akan selalu saya ingat. Kondisi Kandhang yang sering berantakan membuat saya ingin menatanya, bisa dibilang saya lebih rajin membersihkan Kandhang (pada waktu itu), dibandingkan membereskan kamar saya pribadi. Saat itu keadaan Kandhang sangatlah unik, kita menemukan kotoran kucing yang baunya luar biasa, ada makanan basi, dan KEMANT memiliki ruangan sendiri yang sangat luas. Akhirnya proses membersihkannya pun dimulai dari pagi hari sampai malam dan berakhir dengan rupa seperti gambar diatas. Galon lengkap dengan aneka minuman disampingnya (hasil peninggalan), meja komputer, papan kerja, lemari obat, lemari dokumen, dan karpet bersih untuk tidur dengan manis. Semua adalah hasil kerja bersama teman-teman. Saya rasa mereka lelah selama masa kepemimpinan saya, isinya hanya rapat dan bersih-bersih Kandhang. Walaupun kondisi Kandhang yang seperti gambar diatas itu tidak bertahan lama, saya tetap senang dengan segala prosesnya. Masa tengah bukan berarti masa tegang di Kandhang berlalu. Kandhang akan selalu menjadi saksi persiapan inisiasi, kegiatan tahunan yang dilakukan mahasiswa antropologi. Salah satu hal yang akan membuat Kandhang menjadi saksi adalah momen perjumpaan panitia dengan senior untuk presentasi. Momen menegangkan, di mana panitia dan senior duduk saling berseberangan seakan masing-masing dari tiap pihak akan berteriak "spartan" lalu saling menyerang. Tenang ini hanya imajinasi saya, tidak ada baku hantam fisik, hanya kata. Lagi-lagi Kandhang menjadi saksi setiap peristiwa ini terjadi. Akhir
Masa-masa akhir perkuliahan saya memang bisa dibilang hubungan saya dengan Kandhang merenggang. Skripsi adalah alasan utamanya, saya akan lebih konsentrasi jika mengerjakan di rumah. Itu alasannya saat masa skripsi saya bisa tidak keluar rumah hampir dua minggu. Walaupun demikian tetap saja skripsi saya selesai dalam waktu satu tahun. Bulan-bulan skripsi, Kandhang selalu menjadi tempat nyaman untuk diskusi bersama teman, tetap dalam permasalahan rumit skripsi. Kandhang menjadi tempat untuk reuni saat masa skripsi berlangsung. Sering kali kita kaget dan senang melihat teman yang jarang kita temui karena terasingkan bersama skripsi. Lebih akhir lagi, tampilan foto-foto diatas adalah pemandangan yang saya dapatkan dari Kandhang. Kandhang akan segera pindah atau lebih tepatnya dihilangkan untuk sesuatu yang nantinya (semoga) lebih baik. Kardus-kardus, rak buku kosong, tetapi masih banyak orang yang duduk di dalam menulis. Pemandangan yang sepi, jika dibandingkan dengan masa awal saya bersentuhan dengan Kandhang. Itulah pemandangan terakhir yang saya dapat. Awal-Tengah-Akhir Rasanya setiap masa ingin saya ceritakan lebih banyak lagi mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi. Namun, rasanya tidak lengkap berbicara Kandhang tanpa menyebutkan Mas Sarwo. Sosok penting yang selalu menghidupkan Kandhang. Mas Sarwo itu penolong yang sabar saat awal kuliah sampai bisa memakai toga. Kalau komputer Kandhang rusak dan sulit mencari buku, sebut judul atau isi buku, Mas Sarwo tahu keberadaannya. Saat situasi Kandhang sepi, Mas Sarwo jawabannya untuk membuat kita tetap terhibur dengan segala ceritanya. Dan berbicara mengenai cerita, Mas Sarwo adalah sumber segala cerita dari segala topik dunia antropologi dan FIB. Mulai dari gosip sampai pengalamannya melihat pengejaran mahasiswa dan aparat yang dahulu pernah terjadi. Sangat cepat dan akurat! Cerita mengenai Mas Sarwo rasanya tidak akan bisa berhenti, sama halnya saat berbicara mengenai Kandhang. Saat ini dan masa depan Kondisi Kandhang saat ini sudah rata dengan tanah. Hanya puing-puing bangunan yang tersisa. Perpustakaan telah berpindah sementara ke Gedung Margono. Ruang dosen-dosen pun juga telah lama berpindah ke Gedung Margono. "Sorkle" juga telah lama diratakan dengan tanah dan digantikan dengan bangku-bangku besi hitam. Ajakan "ayo ngandhang" mungkin akan terdengar janggal, sebab bangunan fisiknya telah hilang. Saya mungkin bukanlah orang yang selalu setiap saat berada di Kandhang. Namun, secara pribadi saya merasa setiap orang berhak mempunyai memori masing-masing terhadap Kandhang, baik maupun buruk. Ikatan tiap individu pun akan berbeda terhadap Kandhang, ada yang sedih dan menyesali, tetapi ada juga yang menerimanya, atau mungkin ada yang tidak peduli, tidak ada yang tahu. Bagi saya, saya hanya bisa mengenang Kandhang dalam ingatan, karena fisik saya tidak berada disana. Tulisan ini salah satu wujud saya dalam mengenang keberadaan Kandhang. Bagi yang masih aktif di perkuliahan atau masih sering berada di lingkungan Kandhang, mengenang Kandhang dilakukan berkumpul dan berkegiatan bersama. Fisik Kandhang memang sudah tidak ada lagi dan saat ini mungkin muncul bagaimana tetap bisa menghidupkan Kandhang tanpa fisik yang pasti. Jika Kandhang adalah manusia, ia pasti sosok anak populer yang mempunyai banyak teman dan mempunyai banyak penggemar. Kalau begitu, senang berteman dengan Anda, Kandhang!
0 Comments
Leave a Reply. |
Archives
December 2016
|