Menggunakan salah satu maskapai kebanggaan Indonesia, gue berangkat ke Korea Selatan pukul 23.35 WIB. Segala persiapan telah dilakukan beberapa hari sebelumnya, mulai dari pencarian tempat tinggal, transportasi umum, dan tempat wisata yang dikunjungi. Persiapan gue lakukan dengan begitu rinci, berbeda dengan perjalanan yang lain, ini adalah debut gue melakukan perjalanan sendirian ke luar negeri, walaupun pada hari keempat gue dipertemukan kembali dengan Sista Dina (kakak maksudnya), hari-hari sebelumnya harus gue jalani seorang diri. Perasaan tegang meracuni setiap bagian dalam diri gue, mulai dari pikiran, sampai penampilan. Apa yang gue maksud dengan penampilan? Korea Selatan terkenal dengan orang-orangnya yang pandai memakai riasan dan berpakaian. Gue, mahasiswa yang sangat tidak pernah menyentuh riasan, merasa tertekan, terlebih lagi kondisi wajah gue yang saat ini jerawatnya sedang dikeluarkan oleh sang-dokter-maha-sibuk di Moestopo itu. Betapa tertekannya gue untuk menutupi kondisi wajah yang saat ini sedang tidak prima. Pemilihan baju untuk keberangkatan pun sangat membingungkan, gue sebisa mungkin untuk berpenampilan cukup trendi. Semua ketengangan akan penampilan gue ini tidaklah sia-sia, walaupun ada sedikit sia-sia, tapi semua akan terjawab nanti. Kembali lagi mengenai keberangkatan, perjalanan ke Korea Selatan membutuhkan waktu kurang lebih 6,5 jam dan perbedaan waktu 2 jam lebih cepat dari Jakarta. Gue, orang yang sangat membenci guncangan di pesawat alias turbulence, menghindari naik pesawat saat musim hujan, telah mengalami 6,5 jam paling menyenangkan. Sebelumnya di tahun 2013, gue pergi ke Jerman dalam rangka pertukaran mahasiswa, selama 4 jam, pesawat gue mengalami guncangan, gue merasa agak tenang karena ada teman yang satu pesawat dengan gue. Kali ini pesawat menuju Korea Selatan, gue mengalami 6,5 jam guncangan seorang diri dengan penumpang di sebelah yang punya bau mulut. Betapa menyenangkannya hidup ini. Sesampainya di Incheon, alias di bandara Korea Selatan, gue langsung menyiapkan diri untuk pergi menuju Busan. Di bandara sendiri pada akhirnya gue memutuskan untuk tidak menyewa WiFi Portable yang sebelumnya sudah dipesan, karena setelah gue pikir-pikir, uang untuk menyewa bisa dipakai untuk hal lain, misalnya belanja dan makan. Hal utama yang dilakukan berikutnya adalah membeli tiket bis untuk ke Busan, ya, gue memilih untuk naik bis, karena menurut keterangan beberapa orang akan lebih murah. Setelah tiket bis didapatkan, hal yang langsung gue lakukan adalah, membeli T-money. T-money adalah sebuah kartu yang berfungsi untuk membayar kereta bawah tanah, bis, taksi, dan belanja. Namun, kartu ini tidak berlaku di semua daerah di Korea Selatan, salah satunya di Gwangju kota yang gue kunjungi setelah Busan, mereka mempunyai sistem pembayaran sendiri. Gue mengisi T-money sebesar 30,000 Won dan bertahan selama hampir seminggu. Sebenarnya ada cerita mengenai proses makan selama berwisata ini, tapi karena dalam laman ini gue punya bagian sendiri mengenai makanan, akan dituliskan secara lebih spesifik di bagian "feast". Baiklah, singkat cerita setelah segala persiapan gue lakukan di dalam bandara selesai, gue keluar dan menghadapi kejamnya cuaca di Incheon. Busan yang lokasinya dekat dengan pantai terasa lebih hangat dibandingkan Incheon, jadi 10 menit menunggu kedatangan bis, terasa seperti 20 menit karena dingin. Bis yang ditunggu datang dan secara jelas gue bisa bilang perjalanan ke Busan memakan waktu kurang lebih 5 jam, sepanjang perjalanan gue cuma bisa tidur. Bodoh sih malah tidur, tapi gue nggak punya daya untuk tetap bangun setelah 6,5 jam nggak tidur di pesawat karena guncangan. Oya, keputusan gue untuk nggak menyewa WiFi Portable cukup baik, karena di bis yang gue naiki, mereka mempunyai akses internet, jadi aman. Setelah sampai di Busan, gue langsung menuju ke kereta bawah tanah, dengan muka sok percaya diri gue menggunakan teknologi yang belum pernah gue temukan, seperti menempelkan T-money pada mesin untuk dapat masuk ke stasiun kereta bawah tanah. Saat masuk ke kereta gue dengan percaya diri yang tinggi langsung duduk di kursi kosong, tapi ternyata kursi itu khusus untuk orang lanjut usia, perempuan hamil, dan perempuan yang membawa anak. Bodohnya gue baru menyadari ini setelah sampai di tujuan. Untungnya nggak ada yang mengusir, mungkin gue terlihat pendatang dan membawa koper. Lucunya, di kereta bawah tanah gue mendapatkan makanan pertama di Busan, yaitu sebuah jeruk yang diberikan seorang nenek karena gue membantu dia naik ke kereta. Muka neneknya terlihat sangat senang saat gue bantu, walaupun dia mengajak ngobrol dengan Bahasa Korea yang sepenuhnya belum gue mengerti, dia tetap berbaik hati menawarkan makanannya. Perjalanan panjang menuju Busan selama 5 jam dan perjalanan dari terminal bis ke hostel selama 1 jam dengan 3 kali ganti jalur, akhirnya selesai setelah bertemu kasur di hostel, walaupun diterjang kencangnya angin musim dingin di Haeundae, gue berhasil selamat. Singkat cerita, malam pertama di Busan gue habiskan diatas kasur, alias tidur. Hibernasi yang cukup panjang pada malam pertama gue di Busan merupakan keputusan yang baik, sebab besoknya gue mengalami hari yang melelahkan saat berjalan-jalan. Foto dari cerita perjalanan di Busan ini dapat ditemukan pada galeri yang ada diatas tulisan ini, mulai dari pemberhentian pertama, sampai yang terakhir. Pemberhentian pertama lokasi wisata yang gue datangi adalah Yonggungsa. Perjalanan mencapai lokasi ini cukup menantang bagi pendatang, karena tidak ada halte yang jelas untuk berhenti, jadi harus memastikan ke supir kalau kalian akan turun di Yonggungsa, lebih detil lagi bisa dicari melalui Google pengalaman orang yang menuju lokasi ini. Lokasinya yang berada di tebing pinggir laut membuatnya menjadi lebih dramatis dari segi pemandangan. Selama disana gue menemukan banyak rombongan ibu-ibu dan bapak-bapak yang datang menaiki bis untuk berdoa di kuil. Banyak patung-patung yang menyimbolkan keselamatan, pendidikan, kesuburan kandungan, dan rejeki. Hampir sama seperti kuil lain yang gue kunjungi dan gue pun juga ikut serta memberi hormat kepada beberapa patung, salah satunya patung yang melambangkan shio gue, yaitu kambing. Selain itu gue juga ikut menghormat kepada patung yang melambangkan kesuksesan pendidikan, siapa tau diberkati skripsinya kan.
Pemberhentian dua gue sangatlah singkat, yaitu Busan Museum of Art. Museum ini menjadi lokasi untuk Busan Biennale, tetapi sayangnya gue nggak jodoh, karena mereka tutup hari itu. Setelah melihat tutupnya museum, gue melanjutkan ke pemberhentian tiga, yaitu Gamcheon Culture Village. Gamcheon Culture Village ini terkenal dengan rumah-rumah warganya yang berwarna-warni dengan kontur tanah yang berbeda, membuat pemandangannya semakin menarik. Lokasi ini merupakan tujuan wisata yang terkenal di Busan, jadi tidak sulit untuk mencapai lokasi ini. Saat menaiki bis kecil, kita cukup memberitahu akan berhenti di Gamcheon, dengan logat yang asing, pasti sang supir akan memahami kalau kita turis dan dia akan memastikan kita turun di lokasi yang benar dengan menunjukan selebaran yang dimilikinya. Menariknya dari perjalanan menuju Gamcheon adalah lokasinya yang menanjak, cukup menantang saat ditempuh dengan menggunakan bis kecil (seperti elf kira-kira), dan supir bis yang gue naiki adalah seorang perempuan, jalanan yang berliku, menanjak, serta sempit, ditambah akan berhenti sewaktu waktu, membuat gue salut dengan kemampuan menyetirnya. Setelah sampai di lokasi, agar aman, lebih baik membeli peta atau membaca peta dengan benar agar nggak bernasib sama seperti gue. Gue yang terlalu asik melihat pemandangan, nggak memperhatikan peta, dan bodohnya gue mengikuti salah seorang turis yang membawa peta, lalu berakhir tersesat. Tersesat di Gamcheon bukan ide yang manis, tanjakan di lokasi ini memiliki kemiringan sekitar 45 derajat, dan kalian akan menemukan banyak jalanan seperti ini jika tersesat. Gue memutuskan untuk berpisah dari si turis yang menyesatkan ini dan berakhir mencari jalan sendiri. Total waktu yang gue habiskan di Gamcheon dengan tersesat, memakan waktu hampir 3 jam. Lokasi yang sangat menarik untuk dikunjungi, sayangnya sejarah yang dirangkum dalam sebuah museum kecil disajikan dengan Bahasa Korea, jadi agak disayangkan karena turis jadi kurang memahami sejarah detil mengenai Gamcheon, walaupun bisa dicari di Google. Pemberhentian empat adalah pemberhentian terakhir setelah wisata edukasi yang gue lakukan, ditutup dengan wisata belanja, yaitu Nampo-dong. Seperti lokasi perbelanjaan lainnya, banyak toko yang menjual pakaian bermerk dan kosmetik khas Korea Selatan, seperti Etude, Nature Republic, atau Missha. Toko-toko ini hampir mirip seperti di Mangga Dua, di mana para penjaga toko akan sibuk berteriak di luar toko mempromosikan barang-barang mereka, mungkin kalau diterjemahkan omongan mereka akan menjadi, "Eonni, boleh eonni BB Creamnya" atau "Oppa, CC Cream lagi diskon loh", mungkin ya. Namun, lokasi yang paling membuat gue bersemangat adalah lorong yang menjual pakaian bekas! Biasanya di Jogja banyak baju bekas yang berasal dari Korea dan sekarang gue di pusatnya baju bekas! Banyak baju bekas yang menarik, tapi sayangnya karena lagi mau musim dingin, baju yang dijual jaket-jaket musim dingin dan baju hangat. Gue nggak beli apa-apa, karena koper yang gue bawa nggak memadai untuk beli jaket yang berat dan tebal itu. Pada akhirnya, sebagai orang yang menyenangi emblem, gue memutuskan membeli emblem bendera Korea Selatan. Mungkin akan lebih menarik datang ke Nampo-dong saat musim panas, jadi baju bekas yang dijajakan bisa dipakai di Indonesia kapanpun. Perjalanan di Busan berakhir di Nampo-dong. Tadinya gue akan pergi ke Shinsegae di Centum City, Shinsegae adalah pusat perbelanjaan terbesar di dunia (menurut Guinness Book of Records). Sebagai anak yang besar dekat dengan pusat perbelanjaan, gue cukup penasaran sebesar apa tempat ini. Namun, karena gue sangat amat lelah menanjak di Gamcheon, gue memutuskan untuk pulang ke hostel. Kesannya nggak asik sih pulang lebih awal, tapi besok pun gue harus pergi pagi untuk berangkat ke Gwangju. Kalau digambarkan, Busan itu agak mirip seperti Jogja, kota, tapi tidak terlalu besar, dan salah satu tujuan utama turis. Gue merasa nyaman dengan Busan, walaupun singkat, tapi gue bisa membayangkan gue tinggal disana, sama seperti di Jogja, ramai tapi tidak seramai Jakarta atau kalau di Korea Selatan, seperti di Seoul. Demikian akhir hari satu dan dua di Busan, tulisan berikutnya adalah petualangan di Gwangju!
0 Comments
Leave a Reply. |
Archives
December 2016
|