Hai para pembaca yang mungkin tidak ada! Gue hari ini menemukan dan menyadari akan suatu hal. Hal ini adalah bahwa gue sudah melakukan kegiatan masak akhir pekan selama tiga minggu. Gue sendiri secara enggak sadar pasti setiap menjelang hari Minggu selalu aja kepikiran untuk mencoba satu resep baru dan pasti selalu langsung belanja.
Hari ini tepat di hari Minggu gue memutuskan untuk memasak "fish and chips" dan semuanya dimasak sendiri, artinya sampai kentang gorengnya pun gue membuat dari kentang asli. Selama proses memasak gue memulai menamakan kegiatan memasak gue ini adalah "Minggu Memasak"! Bukan berarti gue memasak selama seminggu, tetapi gue akan memasak setiap hari Minggu. Kenapa? Hari Minggu adalah hari paling santai. Selain itu gue harus membiasakan diri gue kalau suka sesuatu dijalanin, jangan cuma diomongin, jadi karena gue suka menulis, gue ada blog ini, dan karena gue suka makan serta masak, makanya ada "Minggu Memasak". Selain itu hal yang gue sadari adalah dari perkataan kakak gue, "kamu kalau masak selalu banyak ya...". Jadi, sepertinya gue selalu masak dengan porsi berlebih, padahal yang makan di rumah cuma kakak gue, Mbak Karti kadang enggak terlalu suka karena yang gue masak bukan makanan Indonesia ataupun Asia. Pasti setelah masak dan ada sisa, kantor kakak gue lah yang menjadi penampung setia sisa masakan gue. Gue sangat menikmati kegiatan yang sudah berjalan tiga kali ini. Karena gue selalu masak berlebih, kecuali menu hari ini orang rumah pada doyan dan habis, lain kali jangan sungkan untuk mengabari bertandang ke rumah, kalau masih ada sisa. Semoga "Minggu Memasak" bisa menghasilkan makanan enak tanpa efek samping. Shalom!
0 Comments
Kalau dilihat dari judul mungkin atau memang penataan katanya kurang benar tapi seenggaknya itu yang bisa sedikit banyak menggambarkan isi tulisan ini. Kalau yang sudah kenal gue, mereka pasti tahu kalau gue sebenarnya mempunyai darah Padang atau darah Minang. Gue sendiri sebenarnya meragukan hal ini, soalnya dari bahasa, kebiasaan, atau apapun itu enggak ada yang gue punya. Sebenarnya ada satu hal yang tersisa di gue kalau urusan darah Minang, yaitu urusan lidah. Entah kenapa gue orangnya sangat suka dengan makanan yang rasanya kaya dan bumbunya terasa kuat. Kategori rasa buat gue ada empat, hambar, ringan, kuat, berlebihan. Yang paling enggak enak itu hambar dan berlebihan, kalau hambar makan juga enggak enak, kalau berlebihan jadi eneg. Balik lagi bicara soal urusan lidah dan rasa, seperti layaknya makanan Padang, di mana bumbu yang mereka gunakan banyak banget, dan menghasilkan makanan yang kaya rasa serta kuat di bumbu. Buat yang mengikuti perjalanan Kompas yang menulis jelajah kuliner nusantara, mereka pernah menuliskan mengenai rendang, bayangkan untuk rendang mereka bisa menggunakan puluhan rempah untuk memasak. Jujur, walaupun belum pernah ke daerahnya langsung, tapi gue tahu rasa rendang yang benar itu gimana, dan rasanya itu luar biasa! Sedikit bicara soal rendang, ada kebiasaan yang dilakukan oleh orang Minang, yaitu mengirimkan rendang untuk sanak saudara yang pergi merantau. Salah satunya gue pernah mendapat kiriman rendang, rasanya itu nikmatnya bukan main. Kalau pernah makan rendang di warung Padang paling enak, itu enggak ada apa-apanya. Gue merasa kebiasaan ini bisa dipahami dengan baik, apalagi buat orang Minang kampung halaman mempunyai arti lebih bagi mereka, apalagi yang sudah merantau jauh. Rendang bisa digunakan sebagai alat untuk mengingatkan akan kampung halaman, akan keluarga yang tinggal disana, semua ini tentang memori dan relasi. Rendang menjadi pengikat mereka. Beralih dari rendang, kembali lagi soal rasa. Melalui beberapa kali kumpul dengan trah keluarga ayah yang mereka semua asli di impor dari Padang, pasti disajikan makanan Padang hasil karya tangan mereka, dan gue enggak bisa bohong memang enaknya bukan main. Mereka enggak main-main kalau bicara soal bumbu. Mulai dari hal kecil seperti itu selera gue akan makanan menjadi terbentuk. Hal ini juga mempengaruhi gue yang cukup selektif kalau urusan makan, apalagi untuk restoran Padang. Di Jogja sendiri gue cukup selektif untuk makan di warung Padang. Kenapa? Di Jogja, khususnya daerah sekitar UGM dan sekitaran Ahmad Dahlan yang sudah gue coba beberapa, soal rasa mereka enak, tapi sayangnya unsur Jogja-nya masih ada, alias soal manis. Beberapa tempat gue menemukan rasa sambal, gulai, dan rendang yang agak manis. Seperti makanan diatas, ini dari warung Padang di daerah Klebengan. Menurut gue pribadi enggak mengecewakan kalau soal rasa, tapi beberap elemen rasanya mengecewakan. Misal sambal cabai ijo, seharusnya, yang gue paham selama ini, maaf kalau salah, rasanya itu bukan hanya pedas, tetapi juga gurih, sedangkan sambal disini rasanya hanya pedas yang mendominasi. Kedua rendang, enak, tapi sayangnya manis. Kuah gulai juga, seharusnya gurih, ini ada manisnya. Gue tanya apa merek menyajikan cincang, salah satu favorit gue, mereka menyajikan di piring kecil, bukan di baskom besar seperti pada umumnya, ditambah lagi kuah yang sedikit. Cincang itu seperti gulai kambing, yang isinya dagung dan jeroannya, rasanya gurih dan sedikit pedas, dan seharusnya kuahnya menjadi juara di makanan ini. Bukan maksud promosi, tapi menurut gue pribadi, sejauh gue makan, gue merekomendasi dua tempat, yang satu dengan harga sangat terjangkau, yaitu Ganti Namo, dan yang satu agak mahal, yaitu Duta Minang. Dua tempat makan ini gue cukup rekomendasikan sebagai warung Padang yang enak. Mungkin ada warung Padang lain yang enak juga, tapi mungkin gue belum menemukan dan belum coba. Nah, kalau ingat di tulisan yang lalu gue bilang sebelum wisuda pengen banget ke Padang, ya tidak lain tidak bukan yang bikin semangat urusan makan! Mungkin sekian tulisan gue kali ini dan rasanya kalau gue bayangin dengan selera makanan gue kayak gini, tuanya kayaknya bakal kena darah tinggi sama kolesterol........
|
Archives
April 2014
Categories |